Tuesday, January 6, 2015

Fraktur


Tinjauan Pustaka

  PENGERTIAN

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai sters yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
(Bruner & Suddarth, 2001)

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer Arif, 2000)

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.(Sylvia A, 1995)


  ETIOLOGI
a.       Trauma            :          
·         Langsung (kecelakaan lalulintas)
·         Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
b.       Patologis       : osteogenesis imperfekta, penyakit metabolik, infeksi
                        tulang, tumor tulang, Metastase dari tulang.
c.        Degenerasi
d.       Spontan        : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

 PATOFISIOLOGI

 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang dapat disebabkan karena trauma atau suatu keadaan yang patologis.  Klasifikasi fraktur banyak macamnya, tetapi yang terpenting adalah ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar (fraktur terbuka dan fraktur tertutup). Tulang yang rusak mengakibatkan rusaknya periosteum, pembuluh darah pada korteks dan sumsum tulang, serta jaringan lunak lainnya.  Fraktur dimanifestasikan dengan adanya deformitas, bengkak pada area patah tulang, kemerahan dari perdarahan subkutan, spasme otot karena kontraksi otot involunter di dekat area patah tulang sehingga menimbulkan gangguan rasa nyaman (nyeri). Gangguan sensasi/baal karena kerusakan saraf atau tertekannya saraf oleh edema dapat menyebabkan kehilangan fungsi normal sehingga menimbulkan gangguan mobilitas fisik dan defisit perawatan diri. Fraktur terbuka dengan adanya jaringan yang rusak memunculkan masalah kerusakan integritas jaringan, dan memungkinkan masuknya kuman sehingga resiko terjadi infeksi.

 MANIFESTASI KLINIK
1.      Nyeri
2.      Kehilangan fungsi, imobilisasi
3.      Deformitas (perubahan bentuk)
4.      Pemendekan ekstremitas
5.      Krepitasi
6.      Bengkak lokal
7.      Perubahan warna/ekimosis dan eritema
8.      Perdarahan dan hemorrhage (jika ada luka terbuka)

  KLASIFIKASI
  1. Komplit-tidak komplit
a.       Fraktur komplit : garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.
b.      Fraktur tidak komplit : garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti :
-          Hairline fracture (patah retak rambut)
-          Buckle fracture atau Torus fracture (terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya, umumnya terjadi pada distal radius anak-anak)
-          Greenstick fracture (fraktur tangkai dahan muda, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak)
  1. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
a.       Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung
b.      Garis patah oblique : trauma angulasi
c.       Garis patah spiral : trauma rotasi
d.      Fraktur kompresi : trauma axial-fleksi pada tulang spongiosa
e.       Fraktur avulasi : trauma tarikan/traksi otot pada tulang, misalnya; fraktur patella
  1. Jumlah garis patah
a.       Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan.  Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal.
b.      Fraktur kominutif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
c.       Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya; fraktur femur, fraktur cruris, dan fraktur tulang belakang.
  1. Bergeser-tidak bergeser
a.       Fracture undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh.
b.      Fracture displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut dislokasi fragmen.
-          Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan “overlapping”).
-          Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
-          Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).
  1. Tertutup-terbuka
a.       Fraktur terbuka : bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
b.      Fraktur tertutup : bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
  1. Foto rontgen untuk mengetahui adanya patah tulang, juga memantau penyembuhan.
  2. CT scan atau MRI untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.
  3. Jika dicurigai ada perdarahan, lakukan pemeriksaan CBC (Complete Blood Count) untuk menilai banyaknya darah yang hilang.
PENATALAKSANAAN
  1. Reduksi adalah memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi anatomik normal.  Caranya : reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.
  2. Imobilisasi adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan.  Caranya : dengan alat-alat eksternal ( bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksternal, traksi, balutan), alat-alat internal ( nail, lempeng, sekrup, kawat, batang ).
  3. Rehabilitasi adalah meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian yang sakit.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN

  1. Faktor  yang meningkatkan penyembuhan fraktur :
a.       Imobilisasi fragmen-fragmen tulang.
b.      Kontak fragmen tulang maksimum.
c.       Suplai darah cukup.
d.      Nutrisi tepat.
e.       Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
f.       Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolic.
g.      Potensial listrik yang melewati fraktur.

  1. Faktor yang menghambat penyembuhan fraktur :
a.       Trauma lokal berlebihan.
b.      Kehilangan tilang.
c.       Imobilisasi tidak adekuat.
d.      Ruang/jaringan diantara fragmen tulang.
e.       Infeksi.
f.       Keganasan lokal.
g.      Penyakit tulang metabolik (mis. penyakit Paget).
h.      Tulang diradiasi (nekrosis radiasi).
i.        Nekrosis avaskuler.
j.        Usia (lansia sembuh lebih lama).
k.      Fraktur intra-artikular (cairan sinovial yang mengandung fibrolisin, yang melisiskan bekuan awal dan memperlambat pembentukan bekuan).
l.        Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan)

 KOMPLIKASI
Komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi menurut Doenges (2000) antara lain:
  1. Syock
  2. Infeksi
  3. Nekrosis divaskuler
  4. Cidera vaskuler dan saraf
  5. Mal union
  6. Borok akibat tekanan

Komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi menurut Brunner & Suddarth (2001) antara lain :
1.      Komplikasi Awal
§  Syok hipofolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tak kelihatan).
§  Sindrom emboli lemak, setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple, atau cedera remuk, dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada dewasa muda (20 sampai 30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan teradinya globula lemak dalam aliran darah yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil.
§  Sindrom kompartemen, merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.

2.      Komplikasi Lambat
§  Pernyatuan terlambat atau tidak adanya penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Ini mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur menyembuh. Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang. Faktor yang ikut berperan dalam masalah penyatuan meliputi infeksi pada tempat fraktur, interposisi jaringan di antara ujung-ujung tulang, imobilisasi dan manipulasi yang tidak memadai, yang menghentikan pembentukan kalus, jarak yang terlalu jauh antara fragmen tulang.
§  Stimulasi elektrik osteogenesis
Osteogenesis pada tidak adanya penyatuan dapat distimulasi dengan impuls elektrik, efektivitasnya sama dengan graft tulang. Stimulasi elektrik memodifikasi lingkungan jaringan, membuatnya bersifat elektronegatif, yang akan meningatkan deposisi mineral dan pembentukan tulang.
§  Nekrosis avaskuler tulang
Terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati.
§  Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Pasien merasa nyeri dan terjadi penurunan fungsi moblisasi.
Komplikasi fraktur yang mungkin terjadi menurut Sylvia (1995) antara lain:
§  Malunion
Adalah suatu keadaan di mana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
§  Delayed union dan nonunion
Sambungan yang terlambat dan tulang patah yang tidak menyambung kembali. Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Nonunion dari tulang yang patah dapat menjadi komplikasi yang membahayakan bagi penderita.

 ASUHAN KEPERAWATAN

  1. FOKUS PENGKAJIAN

a.      Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:

Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada struktur lain. Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
1)      Aktivitas/istirahat:
Gejala:
-          Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.
2)      Sirkulasi:
Tanda:
-          Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri/ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan.
-          Takikardia
-          Penurunan/tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur.
-          Hematoma area fraktur.
3)      Neurosensori:
Gejala:
-          Hilang gerakan/sensasi
-          Kesemutan (parestesia)
Tanda:
-          Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan/kehilangan fungsi.
-          Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.
-          Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain.
4)      Nyeri/Kenyamanan:
Gejala:
-          Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur, berkurang pada imobilisasi.
-          Spasme/kram otot setelah imobilisasi.
5)      Keamanan:
Tanda:
-          Laserasi kulit, perdarahan
-          Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba)
6)      Penyuluhan/Pembelajaran:
-          Imobilisasi
-          Bantuan aktivitas perawatan diri
-          Prosedur terapi medis dan keperawatan

b.      Pengkajian Diagnostik:

Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah:
1)          X-ray:
-  menentukan lokasi/luasnya fraktur
2)          Scan tulang:
-  memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3)          Arteriogram
-  dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4)          Hitung Darah Lengkap
-   hemokonsentrasi mungkin meningkat,  menurun pada perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
5)          Kretinin
-  trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal
6)          Profil koagulasi
-  perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.

B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN & FOKUS INTERVENSI
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan fraktur antara lain :
1.      Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
Tujuan : Klien  menyatakan  nyeri  hilang,   menunjukkan   penggunaan   ketrampilan
relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi.
Intervensi :
a.       Kaji lokasi, intensitas, dan tipe nyeri.  Gunakan skala peringkat nyeri.
b.      Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring sampai fraktur berkurang.
c.       Pertahankan traksi yang diprogramkan dan alat-alat penyokong.
d.      Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
e.       Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan.
f.       Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
g.      Ajarkan teknik relaksasi, contoh : distraksi, stimulasi kutaneus.
h.      Berikan alternatif tindakan kenyamanan, misal : ubah posisi.
i.        Kolaburasi pemberian analgesik.

2.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
Tujuan :  Klien mendapatkan mobilitas pada tingkat optimal, mempertahankan  posisi
 fungsional, menunjukkan teknik mampu melakukan aktivitas.
Intervensi :
a.       Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan.
b.      Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik.
c.       Instruksikan klien untuk/bantu klien dalam rentang gerak pasif/aktif pada ektremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
d.      Awasi tekanan darah dan perhatikan keluhan pusing.
e.       Ubah posisi secara periodic dan dorong untuk latihan napas dalam.
f.       Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral.
3.      Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur.
Tujuan  :  Klien dapat melakukan perawatan diri secara sederhana dan mandiri.
Intervensi  :
a.       Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas perawatan.
b.      Tingkatkan harga diri dan penentuan diri selama aktivitas perawatan diri.
c.       Tingkatkan partisipasi optimal.
d.      Beri dorongan untuk mengekspresikan perasaan tentang kurang perawatan diri.
e.       Libatkan keluarga/orang dekat dalam membantu klien melakukan perawatan diri.

4.      Aktual/resiko tinggi kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur.
Tujuan  :  Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang,  mencapai  penyembuhan  luka
 sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi.
Intervensi  :
a.       Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna kelabu, memutih.
b.      Massage kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.
c.       Ubah posisi dengan sering (4 jam sekali).
d.      Amati kemungkinan adanya tekanan pada bagian luka khususnya pada pinggir atau bawah bebat.
e.       Anjurkan klien untuk menggerakkan bagian anggota tubuh lain yang tidak sakit.


5.      Aktual/resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.
Tujuan :  Klien akan menunjukkan penyembuhan luka sesuai waktu dengan bukti luka
tidak terdapat pus.
Intervensi :
a.       Observasi keadaan umum luka.
b.      Pantau penyembuhan luka dengan memperhatikan hal berikut : bukti luka tidak terdapat pus.
c.       Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan berbicara.
d.      Selidiki nyeri tiba-tiba / keterbatasan gerakan dengan edema lokal / eritema ekstremitas cedera.
e.       Lakukan perawatan luka aseptik dan antiseptik.
f.       Lakukan prosedur isolasi.
g.      Tutup luka dengan kasa steril.

6.      Ansietas berhubungan dengan gangguan status kesehatan/krisis situasi.
Tujuan  :  Klien tidak rewel, terlihat tenang dan relaks, ikut serta dalam aktivitas.
Intervensi  :
a.       Pantau tingkat ansietas klien.
b.      Berikan penekanan penjelasan dokter mengenai pengobatan dan tujuannya, klarifikasi kesalahan konsep.
c.       Berikan dan luangkan waktu untuk mengungkapkan perasaan.
d.      Ajarkan dan bantu dalam teknik penatalaksanaan stress.
e.       Kaji perilaku koping yang ada dan anjurkan penggunaan perilaku yang telah berhasil digunakan untuk mengatasi pengalaman yang lalu.
f.       Berikan dorongan untuk berinteraksi dengan orang terdekat, teman serta saudara.
g.      Jelaskan semua prosedur dan pengobatan, libatkan klien dalam perencanaa, berikan pilihan, berikan dorongan untuk membuat keputusan yang aman.
7.      Resiko tinggi perubahan penatalaksanaan pemeliharaan rumah berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang tindakan perawatan diri saat pulang, kurang sistem pendukung yang adekuat.
Tujuan  :  Klien mampu :
a.       Mengungkapkan pengertian, prognosis, pengobatan, & program rehabilitasi.
b.      Memperagakan kemampuan untuk merawat alat bantu imobilisasi.
c.       Mengekspresikan pengetahuan tentang gejala, potensial komplikasi.
Intervensi  :
a.       Tekankan pentingnya rencana rehabilitasi aktivitas, istirahat, dan latihan.
b.      Berikan dan tinjau ulang instruksi diet pengenai tipe dan jumlah, perlunya menghindari penambahan berat badan bila mungkin.
c.       Diskusikan tentang obat-obatan : nama, tujuan, jadwal, dosis, dan efek samping.
d.      Diskusikan tanda dan gejala untuk dilaporkan pada dokter : nyeri hebat, perubahan suhu badan, warna, atau sensasi pada ekstremitas, bau yang menyengat atau drainase dari luka.
e.       Jelaskan tentang gips, bebat, slang sesuai indikasi.
f.       Berikan dorongan untuk melakukan kunjungan tundak lanjut pada dokter.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta.
Doenges, marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI: Jakarta.
Sylvia A.price. 1995. Patofisiologi, edisi 4. EGC: Jakarta.
Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yayasan Essentia Medika: Yogyakarta.
Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6. EGC: Jakarta.
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4. EGC: Jakarta.

No comments:

Post a Comment