BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Suatu
keadaan di mana sel kehilangan kemampuannya dalam mengendalikan kecepatan
pembelahan dan pertumbuhannya. Normalnya, sel yang mati sama dengan jumlah sel yang
tumbuh. Apabila sel tersebut sudah mengalami malignansi/ keganasan atau
bersifat kanker maka sel tersebut terus menerus membelah tanpa memperhatikan
kebutuhan, sehingga membentuk tumor atau berkembang “tumbuh baru” tetapi tidak
semua yang tumbuh baru itu bersifat karsinogen. (Daniele gale 1996).
Setiap
tahun di diagnosis 183.000 kasus baru kanker payudara di amerika serikat. Bukan
hanaya kanker payudara saja lebih banyak mengenai wanita dari pada pria. Pada
usia 85 satu dari sembilan wanita akan mengalami kanker payudara. Kemampuan
pasien yang di diagnosis kanker payudara bertahan hidup masih mencapai 5 tahun
sejak awal di diagnosis kanker payudara sekitar 93 %. Jika kanker telah
menyebar secara regional saat di diagnosis kemampuan bertahan hidup selama 5
tahun menjadi 72 % dan untuk seseorang dengan metastasis yang luas saat di
diagnosis kemampuan bertahan hidupnya hanya 18 %.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan kontrak belajar, penulis mampu
melakukan perawatan pada pasien BPH.
2. Tujuan Khusus
a.
Mampu memahami pengertian BPH.
b.
Mampu memahami penyebab BPH.
c.
Mampu memahami patofisiologi BPH.
d.
Mampu memahami penatalaksanaan BPH.
e.
Mampu melakukan perawatan pada BPH.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.
DEFINISI
BpH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia. Beberapa atau semua komponen prostat,
meliputi antara lain:
-
Jaringan kelenjar.
-
Jaringan fibro-muskular yang menyebabkan penyumbatan
uretra parsprostatika.
2.
ETIOLOGI
Etiologi BpH belum jelas namun terdapat faktor resiko
umur dan hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada
pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang akan terjadi
perubahan katologik anatomi yang pada pria usia 50 tahun angka kejadian sekitar
50%, usia 80 tahun sekitar 80% dan usia 90 tahun 100%.
3.
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar (80%) laki-laki usia diatas 50 tahun
menderita BpH tetapi kebanyakan tanpa gejala. Hanya 10% saja yang menimbulkan
gejala klinis. Gejala klinis yang pertama timbul adalah manifestasi dari adanya
obstruksi. Obstruksi yang ditimbulkan oleh pembesaran prostat menyebabkan
tahanan di uretra prostatika meningkat sehingga muskulus detrusor buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Hal ini
menyebabkan hipertropi pada muskulus detrusor. Pada pemeriksaan sistoskopi ini
akan terlihat sebagai trabekulasi dan adanya selule. Lama-kelamaan terjadi
gangguan pada persyaratan buli-buli sehingga timbul gejala intatif.
Pada suatu saat muskulus detrasor tidak mampu lagi
memompa urin (dekompensasi) dan terjadilah retensi urin.
Kadang-kadang muskulus detrusor kemampuan kontraksinya
terbatas, artinya sebelum buli-buli kosong kontraksinya sudah berhenti. Maka
dalam buli-buli akam tersisa urin (rest urin).
Penyebab yang pasti dari BpH diketahui, diduga yang
berperan adalah perubahan keseimbangan hormonal, dimana ratio estrogen
testosteron meningkat.
4.
GEJALA KLINIS
Berupa sindroma prostatisme, yang terdiri dari :
a. Gejala
obstruktif
|
:
|
Kelemahan
pancaran urin, hesitansi, proses kencing berlangsung lebih lama, rasa tidak
puas pada akhir kencing.
|
b. Gejala
iritatif
|
:
|
Frekuensi,
urgensi, nocturia, deseina, makin lama residu urin makin banyak dan terjadi
retensi urin, kencing spontan tidak mungkin lagi / urin menets (inkontinensia
paradaksa).
|
5.
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA
1). a.
Inspeksi buli-buli
|
:
|
Ada / tidaknya
penonjolan perut di daerah supra pubik (buli-buli penuh / kosong).
|
b. Palpasi buli-buli
|
:
|
Tekanan di
daerah suprapublik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli bersih
/ penuh. Teraba massa yang kontraktil dan “ballotlement”.
|
c. Perkusi
|
:
|
Buli-buli
yang penuh berisi urin memberi suara merdu.
|
2). Colok dubur.
3). Laboratorium : Dl, Ul, kultur urin, kreatinin
serum, B, U, N
4). Flowmetri :
flowmeter adalah alat khusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan
ml / detik.
Penderita dengan sindroma prostatisme perlu diperiksa
dengan flowmetri sebelum dan sesudah terapi.
-
Penilaian
|
:
|
·
F maks < 10 ml / dt obstruktif
·
F maks 10-15 ml / dt bordeline
·
F maks >15 ml / dt non obstruktif
|
5). Radiologis
|
:
|
I.V. P dengan foto buli-buli pre dan
post muksi posisi obligue ini dikerjakan bila prextatisme masih mungkin
disebabkan oleh hal lain.
Bila diagnosa klinis sudah jelas BpH, hanya
dikerjakan foto polos abdomen.
|
6). Kateterisasi : mengukur “rest urine”.
7). Ultrasonografi.
8). Uretra-sistoskopi.
6.
DIASNOSTIK BANDING
a.
Prostatotis.
Keluhan : disuria, urgensi
Pemeriksaan fisisk : - colok
dubur prostat tidak membesar,
lunak, nyeri tekan.
-
setelah kencing “rest
urine”
b.
Keganasan prostat.
Keluhan : disuria, urgensi, hematuria, retensi urine.
Pemeriksaan fisik : - colok dubur : prostat
membesar, terdapat nodul yang soliter ataupun difus dan lebih besar.
c.
Striktur uretra.
|
d.
Batu uretra posterior
7.
KOMPLIKASI
a.
Infeksi saluran kemih (ISK).
b.
Obstruksi intravertikal : - Pada
buli-buli Trabekulasi, divertikuli,
terbentuk batu buli-buli.
- Pada ginjal Hindronetrosi.
8.
PENATALAKSANAAN
a.
Konservativ : bila gejala klinis hanya ringan dan tidak
pragresif.
b.
Medika mentosa.
-
Indikasi :
BpH dengan gejala prostatisme ringan dan belum memenuhi indikasi
operatif.
-
Macam obat :
·
Golongan x 1 adrenergik “ blocker” berkhasiat
menurunkan tekanan / tahanan di uretra prostatika.
·
Golongan 5 x reduktase “inhibitor” mencegah
sintesa dehidra testateron (DHT) yang berperan dalam proses hiperplasia
prostat.
c.
Operatif
-
Indikasi :
- gejala klinis yang progresif.
-
Terdapat pernyulitan, terdapat hernia / hemoroid
sekunder karena prostatisme.
-
Pernah retensi urin.
-
“Residual Urine” lebih dari 1/3 kapasitas buli-buli
yang normal.
Cara : - pembedahan terbuka.
-
Pembedahan endoskopik : “Trans uretral resection”
(TUR).
Cara derobstruksi yang lain seperti dengan hipertermia dan ablasi dengan
laser masih dalam taraf uji klinis.
BAB III
RESUME
A. STUDI KASUS
Tn. W 74 tahun
dengan BPH post Prostatektomi pada hari ke 2. Hasil pengkajian klien mengeluh
nyeri pada saat BAK, BAK sedikit + 500cc / hari, hasil pemeriksaan
rongten menunjukan ada pembesaran pada prostat.
Terapi yang
diberikan adalah ceftriaxon 1gram / 12 jam, ketorolak 30 mg / 8 jam, Ranitidin
50 mg / 12 jam, kalnex 30mg / 12 jam serta infus RL 20 Tpm.
Diagnosa
yang muncul adalah nyeri dengan intervensi kaji tingkat nyeri, ajarkan tehnik
distraksi dan relaksasi pada klien, kolaborasi dengan pemberian analgetik.
Prosedur pembedahan yang dilakukan pada pasien BPH untuk melancarkan pembuangan
urin klien.
B. DISKUSI DENGAN EKSPERT
Menurut ekspert 1 (Residen bedah) dan ekspert 2 (Perawat), Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan
untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang
mungkin terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh
karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan
prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal
dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan
kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena
saat itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal
mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan
anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard
C. PERMASALAHAN
1.
Bagaimana pengaruh prostatektomi pada BPH ?
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PENGARUH PROSTATEKTOMI PADA BPH
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk
terapi bedah yaitu :
-
Retensi urin berulang
-
Hematuri
-
Tanda penurunan fungsi ginjal
-
Infeksi saluran kemih berulang
-
Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
-
Ada batu saluran kemih.
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup.
Instrumen bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uratra ke dalam
prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam
irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang
menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard
karena pengangkatan jaringan prostat
pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke
arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
Prostatektomi perineal sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Pada pasca operatif, luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat rektum. Inkontinensia, impotensi, atau cedera rektal lebih
mungkin terjadi komplikasi pada pendekatan ini.
Insisi prostat transuretral (TUIP)diindikasikan ketika
kelenjar prostat kecil (30mg atau kurang). Satu atau du buah insisi dibuat pada
prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi kontriksi uretra
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk
membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin
terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena
pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan
prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal
dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan
kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena
saat itu fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal
mengalir ke dalam kandung kemih dan diekskresikan bersama uin. Perubahan
anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard.
BAB
V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
BpH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia. Beberapa atau semua komponen prostat.
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk
membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin
terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena
pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan
prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal
dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal.
B. REKOMENDASI
1.
Perawat di Ruang dalam merawat pasien dengan prostatektomo harus hati hati dalam merawat
karena resiko tinggi untuk kambuh masih besar
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media
Aeusculapius FK-UI, Jakarta
Doenges M.E. at al., 1992, Nursing Care Plans, F.A. Davis Company, Philadelphia
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar
Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby Year-Book, St.
Louis
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing
Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing
Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002, NANDA
No comments:
Post a Comment