BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ensefalitis adalah reaksi radang di daerah otak yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme baik virus, bakter, protozoa, spirochaeta, jamur, cacing, atau reaksi radang akibat adanya infeksi sistemik atau vaksinasi.
Ensefalitis bakterial dikenal pula sebagai ensefalitis supuratif atau abses otak. Pada bayi dan anak kecil, ensefalitis terjadi sebagai komplikasi meningitis bakterial (jarang terjadi pada orang dewasa). Pada ensefalitis terjadi kerusakan neuron, terdapat intranuclear inclusion bodies, edema, radang jaringan otak dan medula spinalis.
Bayi atau anak yang menderita ensefalitis tampil dengan gambaran klinik suhu mendadak naik, sering mengeluh nyeri kepala, muntah, kejang, kesadaran dengan cepat menurun. Penanganan harus segera dilakukan untuk mencegah mortalitas dan gejala sisa yang menyertai seperti paresis, paralisis , afasia, dan retardasi mental.
Pada umumnya ensefalitis paling sering terjadi pada umur di bawah 15 tahun, karena pada umur ini frekuensi penyakit-penyakit sinus nsalis maupun mastoiditis masih tinggi.
Angka kematian untuk ensefalitis masih tinggi, berkisar antara 35 sampai 50%. Dari penderita yang hidup 20 sampai 40% mempunyai komplikasi gejala sisa berupa paralisis, pergerakan choreaathetoid, gangguan penglihatan atau gejala neurologik lain. Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologik yang nyata, dalam perkembangan selanjutnya masih mungkin menderita retardasi mental, gangguan tingkah laku dan epilepsi.
Karena gejala yang sering timbul adalah suhu yang mendadak naik dan bahkan seringkali ditemukan hiperpireksia maka perlu dilakukan penatalaksanaan demam. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 1 0C pun bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang.
Bila anak mengalami demam tinggi akan terancam
terjadinya kejang. Apalagi pada Ensefalitis ini gejala khas lainnya adalah
timbulnya kejang. Kejang ini dapat berlangsung berjam-jam. Kalau sampai terjadi
kejang maka kerusakan sel tubuh terutama pada sel-sel otaknya dapat terjadi.
Kalau kejang yang dialaminya terjadi secara terus menerus, maka kemampuan
berpikir anak akan mengalami kerusakan serius. Sehingga penatalaksanaan awal
adalah dengan cara menurunkan suhu tubuh anak agar resiko terjadinya kejang
seminimal mungkin bisa dihindarkan. Apalagi
B. Tujuan
1.
Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan kontrak
belajar, saya mampu mengelola anak ensefalitis yang mengalami demam
2. Tujuan
Khusus
a. Menyebutkan pengertian demam
b. Menyebutkan etiologi terjadinya kejang
demam
c. Menjelaskan patofisiologi terjadinya demam
d. Memahami mekanisme pengaturan suhu tubuh
pada anak
e. Menjelaskan penatalaksanaan demam pada
anak dengan ensefalitis
f.
Melakukan
pengelolaan pada anak dengan ensefalitis yang mengalami gangguan termoregulasi
demam
BAB II
TINJAUAN TEORI
I. Pengertian Demam
Demam berarti suhu tubuh diatas batas normal biasa,
dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak atau
dehidrasi. (Guyton, 1990).
Demam adalah keadaan dimana terjadi kenaikan suhu
hingga 380 C atau lebih. Ada juga yang yang mengambil batasan lebih
dari 37,80C. Sedangkan bila suhu tubuh lebih dari 400C
disebut demam tinggi (hiperpireksia) . (Julia, 2000)
II.
Etiologi
Demam
Demam terjadi
bila pembentukan panas melebihi pengeluaran. Demam dapat berhubungan dengan
infeksi, penyakit kolagen, keganasan, penyakit metabolik maupun penyakit lain.
(Julia, 2000). Menurut Guyton (1990) demam dapat disebabkan karena kelainan
dalam otak sendiri atau zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu,
penyakit-penyakit bakteri, tumor otak atau dehidrasi.
III.
Patofisiologi
Demam
Demam terjadi sebagai respon tubuh terhadap
peningkatan set point, tetapi ada peningkatan suhu tubuh karena pembentukan
panas berlebihan tetapi tidak disertai peningkatan set point. (Julia, 2000)
Demam adalah sebagai mekanisme pertahanan tubuh
(respon imun) anak terhadap infeksi atau zatasing yang masuk ke dalam tubuhnya.
Bila ada infeksi atau zat asing masuk ke tubuh akan merangsang sistem
pertahanan tubuh dengan dilepaskannya pirogen. Pirogen adalah zat penyebab
demam, ada yang berasal dari dalam tubuh (pirogen endogen) dan luar tubuh
(pirogen eksogen) yang bisa berasal dari infeksi oleh mikroorganisme atau
merupakan reaksi imunologik terhadap benda asing (non infeksi).
Pirogen selanjutnya membawa pesan melalui alat
penerima (reseptor) yang terdapat pada tubuh untuk disampaikan ke pusat
pengatur panas di hipotalamus. Dalam hipotalamus pirogen ini akan dirangsang
pelepasan asam arakidonat serta mengakibatkan peningkatan produksi
prostaglandin (PGEZ). Ini akan menimbulkan reaksi menaikkan suhu tubuh dengan
cara menyempitkan pembuluh darah tepi dan menghambat sekresi kelenjar keringat.
Pengeluaran panas menurun, terjadilah ketidakseimbangan pembentukan dan
pengeluaran panas.
Inilah yang menimbulkan demam pada anak. Suhu yang
tinggi ini akan merangsang aktivitas “tentara” tubuh (sel makrofag dan sel
limfosit T) untuk memerangi zat asing tersebut dengan meningkatkan proteolisis
yang menghasilkan asam amino yang berperan dalam pembentukan antibodi atau
sistem kekebalan tubuh. (Sinarty,2003)
Sedangkan sifat-sifat demam dapat berupa menggigil
atau krisis/flush.
Menggigil. Bila pengaturan termostat dengan mendadak diubah dari
tingkat normal ke nilai yang lebih tinggi dari normal sebagai akibat dari
kerusakan jaringan,zat pirogen atau dehidrasi. Suhu tubuh biasanya memerlukan
beberapa jam untuk mencapai suhu baru.
Krisis/flush. Bila faktor yang menyebabkan suhu tinggi dengan mendadak disingkirkan,
termostat hipotalamus dengan mendadak berada pada nilai rendah, mungkin malahan
kembali ke tingkat normal. (Guyton, 1999)
IV. Mekanisme Pengaturan Suhu Tubuh
Suhu tubuh diatur
hampir seluruhnya oleh mekanisme umpan balik saraf dan hampir semua
mekanisme ini bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di
hipotalamus. Mekanisme pengaturan suhu tubuh di hipotalamus disebut termostat
hipotalamus. Akan tetapi agar mekanisme umpan balik ini bekerja, juga harus
terdapat detektor suhu untuk menentukan tubuh terlalu panas atau dingin.
Reseptor suhu yang paling penting untuk mengatur suhu
tubuh adalah banyak neuron peka panas khusus yang terletak pada area preoptika
hipotalamus. Neuron ini meningkatkan pengeluaran impuls bila suhu meningkat dan
mengurangi impuls yang keluar bila suhu turun. Kecepatan cetusan kadang-kadang
meningkat sebanyak 10 kali pada peningkatan suhu tubuh sebesar 10oC.
meliputi neuron peka panas yang terletak di area preoptika hipotalamus.
Selain neuron peka panas area preoptika ini, reseptor
lain yang peka terhadap suhu diantaranya reseptor suhu kulit dan reseptor suhu
dalam medula spinalis, abdomen dan mungkin strukturdalam lainnya pada tubuh.
(Guyton, 1990)
V.
Mekanisme
Kehilangan Panas
Berbagai cara hilangnya panas dari tubuh diantranya
radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi.
Radiasi. Kehilangan panas dengan cara radiasi
dalam bentuk sinar panas inframerah, gelombang elektromagnetik yang beradiasi
dari tubuh ke sekelilingnya, yang lebih dingin daripada tubuhnya sendiri.
Kehilangan ini meningkat bila suhu sekelilingnya menurun.
Konduksi. Kehilangan panas dengan cara
konduksi ke udara merupakan kehilangan panas yang dapat diukur. Panas
sebenarnya merupakan energi kinetik pergerakan molekul dan molekul-molekul yang
menyusun tubuh terus menerus mengalami grak vibrasi. Jadi gerak vibrasi molekul
kulit dapat menyebabkan penginkatan kecepatan gerak molekul udara yang datang
bersentuhan langsung dengan kulit. Bila suhu udara yang dekat kulit sama seprti
suhu kulit, sedikit terjadi pertukaran panas tambahan dari tubuh ke udara.
Konveksi. Pembuangan panas dari tubuh dengan
cara arus udara konveksi sering dinamakan kehilangan panas dengan cara
konveksi. Sebenarnya panas pertama kali harus dikonduksi ke udara dan kemudian
dibawa menjauhi tubuh oleh arus konveksi. Orang telanjang yang duduk dalam
ruangan yang sejuk kehilangan sekitar 12% panasnya dengan cara konveksi
menjauhi tubuh.
Evaporasi. Bila air menguap dari permukaan
tubuh, 0,58 kalori panas hilang untuk setiap gram air yang menguap. Air menguap
secara insensibel dari kulit dan paru dengan kecepatan 600 ml per hari.
VI. Mekanisme Peningkatan Pembuangan Panas
Pemanasan berlebihan area termostatik pre optik
meningkatkan kecepatan pembuangan panas dari tubuh melalui dua jalan utama
yaitu (1) dengan perangsangan kelenjar keringat untuk menimbulkan pembuangan
panas secara penguapan dari tubuh dan (2) dengan penghambatan pusat-pusat
simpatis di hipotalamus posterior; hal ini menghilangkan tonus vasokonstriktor
normal pada pembuluh kulit, karena itu memungkinkan vasodilatasi dan kehilangan
banyak panas dari kulit.
VII. Penatalaksanaan Demam
a. Secara fisik
§
Mengawasi kondisi klien dengan : Pengukuran suhu
secara berkala setiap 4-6 jam. Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering
terkejut, atau mengigau. Perhatikan pula
apakah mata anak cenderung melirik ke atas atau apakah anak mengalami
kejang-kejang. Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi
perkembangan otak, karena oksigen tidak mampu mencapai otak. Terputusnya suplai
oksigen ke otak akan berakibat rusaknya sel-sel otak. Dalam keadaan demikian,
cacat seumur hidup dapat terjadi berupa rusaknya fungsi intelektual tertentu.
§
Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
§
Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
§
Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah
terputusnya suplai oksigen ke otak yang akan berakibat rusaknya sel – sel otak.
§
Berikan cairan
melalui mulut, minum sebanyak –banyaknya
Minuman yang diberikan dapat berupa air putih, susu (anak diare
menyesuaikan), air buah atau air teh. Tujuannnya adalah agar cairan tubuh yang
menguap akibat naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
§
Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
§
Kompres dengan air biasa pada dahi, ketiak,lipat
paha. Tujuannya untuk menurunkan suhu tubuh dipermukaan tubuh anak. Turunnya
suhu tubuh dipermukaan tubuh ini dapat terjadi karena panas tubuh digunakan
untuk menguapkan air pada kain kompres. Jangan menggunakan air es karena justru
akan membuat pembuluh darah menyempit dan panas tidak dapat keluar. Menggunakan
alkohol dapat menyebabkan iritasi dan intoksikasi (keracunan).
§
Saat ini yang lazim digunakan adalah dengan
kompres hangat suam-suam kuku. Kompres air hangat atau suam-suam kuku maka suhu
di luar terasa hangat dan tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu diluar
cukup panas. Dengan demikian tubuh akan menurunkan kontrol pengatur suhu di
otak supaya tidak meningkatkan pengatur suhu tubuh lagi. Di samping itu
lingkungan luar yang hangat akan membuat pembuluh darah tepi di kulit melebar
atau mengalami vasodilatasi, juga akan membuat pori-pori kulit terbuka sehingga
akan mempermudah pengeluaran panas dari tubuh.
b. Obat-obatan Antipiretik
Antipiretik bekerja secara sentral menurunkan suhu di
pusat pengatur suhu di hipotalamus. Antipiretik berguna untuk mencegah
pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat enzim cyclooxygenase sehinga
set point hipotalamus direndahkan kembali menjadi normal yang mana diperintah
memproduksi panas diatas normal dan mengurangi pengeluaran panas tidak ada lagi.
Petunjuk
pemberian antipiretik:
a.
Bayi 6 – 12 bulan : ½ - 1 sendok the sirup parasetamol
b.
Anak 1 – 6 tahun : ¼ - ½ parasetamol 500 mg atau 1 – 1
½ sendokteh sirup parasetamol
c.
Anak 6 – 12 tahun : ½ 1 tablet parasetamol 5oo mg atau
2 sendok the sirup parasetamol.
Tablet parasetamol dapat diberikan dengan digerus lalu
dilarutkan dengan air atau the manis. Obat penurun panas in diberikan 3 kali
sehari. Gunakan sendok takaran obat dengan ukuran 5 ml setiap sendoknya.
BAB
III
RESUME
A. STUDI KASUS PASIEN
An. D umur 2 tahun,
laki-laki , dengan diagnosa ensefalitis. Keadaan umum : klien tampak masih
lemah, kesadaran apatis, terpasang infus di tangan kanan D5% 480/20/5 tetes
makro per menit. Keadaan kulit lembab, suhu 38,8º C, hangat, turgor kembali
cepat kurang dari 2 detik, elastis, berat badan 12,4 kg, tinggi badan 90 cm,
lingkar lengan 16 cm.
Terapi obat : Infus D5% 480/20/5 tetes per menit makro,
Injeksi Cefotaxim 3 x 500 mg IV, Kloramfenikol 3 x 500 mg, Mersitrophil 3 x 20
mg Po. Parasetamol 3 x 12,5 mg, luminal 3 x 150 mg, Depaken syrup 2
x 3,5 mg , Ambroxol 3 x 6 mg. Diet : 3 x 200 ml cair (bahan dasar lactogen II),
6 x 150 ml lactogen II. Hasil pemeriksaan laboratorium Hb : 8,8 gr/dl ,Ht : 26
%, Leucosit :10.600 mmol/L, Trombosit:
470.000 I/U
Untuk pengkajian
perkembangan pada An. D, tidak ada yang mengalami keterlambatan pada semua
sektor, perkembangan sesuai dengan umur.
An. D pernah dirawat di
rumah sakit sebelum sakit kali ini , saat ini
dibawa ke rumah sakit karena keluhan panas yang disertai kejang, pilek,
dan muntah. Sebelumnya klien dirawat di RS Mitra keluarga kemudian dirujuk ke
RSDK dengan diagnosa ensefalitis.
Pada An. D ditemukan
diagnosa keperawatan : perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral,
ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d peningkatan produksi sputum yang
berlebihan, peningkatan suhu tubuh b.d reaksi infeksi, kerusakan integritas
kulit b.d immobilitas.
B. HASIL DISKUSI DENGAN EXPERT
√
Expert I
(Residen Anak, dr. M)
Penyebab tersering dari Ensepalitis adalah virus,
pada kasus An D yang memiliki riwayat Brpn seperti lingkaran setan antara
ensepalitis dan bronkopeumonia dimana ensepalitis dapat menyebabkan bronkopneumonia
dan sebaliknya. Pada pasien kejang dibawah usia 12 bulan harus dilakukan LP,
karena apabila pasien mengalami kejang untuk yang pertama kali pada usia kurang
dari 12 bulan, dicurigai adanya proses penyebaran kuman TB. Bila pasien
terinfeksi TB pada usia 3 bulan, maka dalam waktu 1 bulan kuman TB yang dari
paru menyebar lewat pembuluh limfe sampai keotak. Tabi bila penyebaran lewat
hematogen antara 4 – 7 bulan baru sampai ke otak.
Untuk menegakkan diagnosa ensepalitis pemeriksaan
terpenting adalah pemeriksaan Liquor Cerebro Spinal dengan prosedur Lumbal
Punctie dan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan hematologi, kimia klinik.
Pemeriksaan LCS pada pasien encefalitis : warna
jernih / apolesen, tekanan normal/ sedikit meninggi, jumlah sel 5 – 1500
/ mm3 dengan MN dominan, kimia meliputi protein meningkat denga
glukosa menurun hampir sama dengan glukosa darah.
Penatalaksanaan secara umum adalah : Anti konvulsif
(im/iv ), Antipiretik (asetosol/parasetamol) à bila keadaan sudah
memungkinkan pemberian oba per oral, Glukosa 20%, 10 ml iv untuk menghilangkan
udema otak, Kortikosteroid im/iv untuk menghilangkan udema sel otak ( dosis tinggi), Oksigen sesuai indikasi,
Fisioterapi jangka panjang
2. Expert
II ( Perawat Anak )
Masalah keperawatan
yang sering muncul pada pasien ensepalitis dan terjadi penurunan kesadaran
adalah : bersihan jalan nafas tidak efektif, penurunan perfusi serebral, resiko
tinggi cidera (kontraktur), gangguan integritas kulit sehubungan dengan
imobilisasi
Tindakan perawatan yang
bisa dilakukan adalah membebaskan jalan nafas, memantau tingkat kesadaran,
memberikan oksigen sesuai instruksi, memonitor tanda-tanda vital, memberikan
obat anti konvulsi, dan yang terpenting adalah memantau efek dari imobilisasi
yang lama seperti terjadinya pneumonia ortostatik sehingga perlu dievalusi
status respirasi setiap 4-6 jam sekali, memberikan terapi antibiotik untuk
mencegah komplikasi, adanya luka dekubitus sehingga perlu melakukan alih baring
setiap 2 jam sekali.
C. PERMASALAHAN
1.
Bagaimanakah mekanisme pengaturan suhu tubuh pada anak
?
2.
Bagaimana efektifitas kompres dalam menurunkan suhu tubuh?
BAB
IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan melakukan pembahasan
mengenai permasalahan yang dimunculkan sesuai dengan kontrak belajar yang ingin
penulis capai. Pembahasan mengacu pada pengelolaan kasus resume yaitu pada An.
D dengan Ensefalitis. Ruang lingkup pembahasan sesuai dengan tujuan yang
tertulis pada kontrak belajar yaitu mengenai pengelolaan anak dengan gangguan
termoregulasi hipertermi pada ensefalitis. Teknik pembahasan yaitu dengan
menggunakan pendekatan kasus di klinik dan membandingkannya dengan teori yang
ada dalam tinjauan teori.
Bila kecepatan pembentukan
panas tepat sama seperti kecepatan kehilangan, maka dikatakan dikatakan berada
dalam keseimbangan panas. Tetapi bila keduanya di luar keseimbangan, panas
tubuh dan suhu tubuh jelas akan meningkat atau menurun. Jika suhu tubuh berada
di atas batas normal biasa akan dapat dikatakan demam (Guyton, 1990). Pada An.
D alasan masuk rumah sakit adalah karena panas, batuk dan kejang hingga
mengalami penurunan kesadaran selama perawatan. Menurut Guyton (1990) suhu
tubuh yang berada di atas batas normal biasa bisa dikategorikan demam.
Sedangkan suhu normal berdasarkan usia An. D (2 tahun) menurut Engel (1998)
adalah 37,2ºC. An. D dengan suhu 38,8ºC
menunjukkan telah terjadi kenaikan suhu karena telah melebihi dari normal yaitu
37,2º C. Sedangkan menurut dr.Julia SpA batasan demam jika suhu tubuh lebih dari
37,8ºC.
Jadi, suhu anak D sebesar 38,8º
C bisa dikategorikan ke dalam demam dan telah memicu terjadinya kejang demam.
Dengan suhu sekian yang masih dikategorikan rendah, An. D ternyata telah
mengalami kejang. Hal ini dikarenakan tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda, mungkin An. D memiliki ambang kejang yang rendah. Ngastiyah (1997)
menyatakan bahwa tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada
kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang
telah terjadi pada suhu 38 ºC sedang anak dengan ambang kejang yang tinggi
kejang baru terjadi bila suhu mencapai 40 ºC atau lebih. Selain karena panas,
kejang juga disebabkan karena kerusakan otak yang disebabkan peradangan infeksi
ensefalitis.
Demam yang terjadi pada An. D
karena pembentukan panas dalam tubuh An. D melebihi pengeluaran panas dalam
tubuhnya. Demam hampir selalu diidentikkan dengan terjadi infeksi padahal cukup
banyak keadaan yang dapat menimbulkan demam, misal karena keganasan, penyakit
kolagen dan penyakit metabolik. Demam yang terjadi tiba-tiba dan sangat tinggi
biasanya disebabkan oleh virus (Julia, 2000). Selain itu demam juga dapat
merupakan reaksi tubuh akibat terjadinya perubahan kondisi anak seperti misal
setelah imunisasi atau pertumbuhan gigi (Sophia, 2003)
Berdasarkan
hasil pengkajian, panas yang ditemukan pada An. D karena akibat proses infeksi
pada otaknya yaitu ensefalitis. Ensefalitis adalah reaksi radang didaerah otak
yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme baik virus, bakteri, protozoa,
spirochaeta, jamur, cacing, atau reaksi radang akibat adanya infeksisistemik
atau vaksinasi. Anak yang menderita ensefalitis tampil dengan gambaran klinik
suhu mendadak naik, sering mengeluh nyeri kepala, muntah, kejang, kesadaran
dengan cepat menurun. (Harsono, 1996). Adanya infeksi akibat zat asing yang
mungkin berupa virus atau bakteri masuk dalam tubuh sehingga merangsang sistem
pertahanan tubuh dengan dilepaskannya pirogen.
Untuk mengetahui patofisiologi
terjadinya demam pada An. D maka harus dikuasai termoregulasi atau pengaturan
suhu tubuh. Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh melanisme umpan balik
saraf dan hampir semua mekanisme ini bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang
terletak pada hipotalamus atau set point hipotalamus. Mekanisme pengaturan suhu
hipotalamus keseluruhan disebut sebagai termostat hipotalamus. Bila kecepatan
pembentukan panas tepat sama seperti kecepatan kehilangan maka dikatakan tubuh
berada dalam keseimbangan panas. Agar mekanisme umpan balik ini bekerja. Juga
harus terdapat detektor suhu untuk menentukan bila suhu tubuh menjadi terlalu
panas atau dingin. Pada orang normal, termostat ini diatur pada suhu 36,5 –37,2
C. sedangkan pada keaiakn suhu lebih dari 41,2 C disebut hiperpireksi (Sinarty,2003).
An. D telah terjadi kenaikan suhu tubuh (demam) dengan suhu 38,8ºC.
Guyton (1990) menyatakan demam
berarti suhu tubuh di atas batas normal biasa. Demam pada An. D ini merupakan
mekanisme pertahanan tubuh (respon imun) terhadap infeksi yang berupa bakteri
atau virus yang masuk dalam tubuh. Bila ada infeksi atau zat asing masuk ke
tubuh akan merangsang sistem pertahanan tubuh dengan dilepaskannya pirogen.
Pirogen selanjutnya membawa pesan melalui reseptor suhu yang terdapat dalam
tubuh untuk disampaikan ke pusat pengatur panas di hipotalamus. Dalam
hipotalamus ini akan dirangsang pelepasan asam arakidonat serta mengakibatkan
peningkatan produksi prostaglandin (PGEZ). Ini akan menimbulkan reaksi
menaikkan suhu tubuh dengan cara menyempitkan pembuluh darah tepi dan
menghambat sekresi kelenjar keringat. Pengeluaran panas akan menurun sehingga
terjadilah ketidakseimbangan pembentukan dan pengeluaran panas. Akibatnya suhu
An. D tinggi yaitu 38,8ºC dan tidak ada produksi kelenjar keringat, kulit An. D
menjadi hangat dan kering. Suhu 38,8ºC ini akan merangsang aktivitas tentara
tubuh (sel makrofag dan sel limfosit T) untuk memerangi zat asing tersebut
dengan meningkatkan proteolisis yang menghasilkan asam amino yang berperan
dalam pembentukan anti bodi atau sistem kekebalan tubuh (Sinarty,2003).
Kemudian berdasarkan hasil
diskusi dengan expert dr. F dan dari literatur (Julia,2000) mengenai
penatalaksanaan demam pada anak dapat dilakukan secara fisik dan obat-obatan
atau kombinasi keduanya. Pengobatan sifatnya simptomatik dan penyebabnya. Bila
anak demam pemberian antipiretik hampir selalu dilakukan untuk pengobatan
simptomatik. Antipiretik bekerja dengan mencegah pembentukan prostaglandin
dengan jalan menghambat enzim cyclooxygenase
sehingga set point hipotalamus direndahkan kembali menjadi normal.
Penurunan pusat pengaturan suhu akan diikuti respon fisiologis berupa penurunan
aliran darah ke kulit serta peningkatan pelepasan panas melalui kulit secara
radiasi, konveksi dan penguapan sesuai dengan cara kehilangan panas dari tubuh.
Pada An. D ini diberikan antipiretik parasetamol dengan dosis sesuai usia An. D
2 tahun 12,5 mg 3 kali sehari. Selama perawatan pemberian parasetamol tetap
diberikan karena suhu tetap berkisar antara 38– 38,7 ºC, meskipun tetap ada
penurunan suhu. Selain itu juga diberikan pengobatan untuk mengatasi penyebab
yaitu dengan pemberian antibiotika. Antibiotika perlu diberikan untuk mengatasi
adanya peradangan dalam area otaknya. Antibiotika yang diberikan untuk An. D
diantaranya cefotaxim 500 mg, kloramfenikol 500 mg dan Mersitrophil 20 mg.
Selain itu juga diberikan luminal 150 mg sebagai antikonvulsi karena sering
disertai dengan kejang.
Sedangkan penatalaksanaan
demam yang sifatnya fisik di antaranya dengan pemantauan suhu tubuh secara
berkala. Kedua, memberi minum pada An. D seperti susu sesuai program dengan
tujuan agar cairan tubuh yang menguap akibat naiknya suhu badan memperoleh
gantinya. Ketiga, tidak memakaikan pakaian yang tebal atau membungkus anak
dengan selimut, karena pakaian yang tebal dan tertutup justru akan meningkatkan
suhu badan anak dan menghalangi penguapan. Ke empat, dengan mengompres
menggunakan air hangat pada bagian ketiak dan leher. Dengan pemberian kompres
air hangat atau suam-suam kuku maka suhu di luar terasa hangat dan tubuh akan
menginterpretasikan bahwa suhu di luar cukup panas. Dengan demikian tubuh akan
menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan pengatur
suhu tubuh lagi. Di samping itu lingkungan luar yang hangat akan membuat pembuluh
darah tepi di kulit melebar atau mengalami vasodilatasi, juga akan membuat
pori-pori kulit terbuka sehingga akan mempermudah pengeluaran panas dari tubuh.
Pemakaian kompres air hangat
terbukti efektif menurunkan suhu tubuh anak demam dan membuat anak menjadi
nyaman. Bahkan ada yang menganjurkan agar anak demam bukan hanya di seka atau
dilap dengan handuk hangat, tapi dimandikan dengan air hangat dengan tujuan
mengompres dan membersihkan tubuh anak dari kuman-kuman yang ada di kulitnya.
Jadi tidak benar bila anak demam tidak boleh mandi.
BAB V
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Demam merupakan suatu
keadaan dimana terjadi kenaikan suhu tubuh hingga 38ºC atau lebih, dapat
disebabkan karena infeksi maupun keadaan penyakit lain seperti ganggguan otak
sendiri, tumor atau dehidrasi. Pengobatan symtomatik demam bertujuan untuk
mengurangi resiko demam tinggi dan kejang demam, mengurangi pemakaian energi
pada pasien dan memberikan kenyamanan pada pasien. Penatalaksanaan demam dapat
dilakukan secara fisik (kompres, minum banyak, mengurangi pakaian yang
berlebihan, aliran udara ruangan, jalan nafas harus terbuka) atau kombinasi keduanya.
B. SARAN
1.
Perlu diajarkan pada orang tua mengenai teknis
pelaksanaan kompres yang efektif pada anak dengan panas.
2.
Sebaiknya ruangan perlu menetapkan suatu pedoman
pemberian kompres (misal kompres air hangat) agar lebih dirasakan manfaatnya
bagi pasien untuk efektifitas penurunan panas.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdul Rokhim, (2002). Ilmu Kesehatan Anak,
Jakarta, Salemba Medika
2.
Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan
Pediatrik, Edisi 2. Jakarta, EGC.
3.
Engel, Joyce. (1998). Pengkajian Pediatrik. Ed. 2. Jakarta, EGC.
4.
Guyton, Arthur C. (1990). Fisiologi manusia
danmekanisme penyakit. Ed. 3. Jakarta, EGC.
5.
Guyton, Arthur C. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 9. Jakarta, EGC.
6.
Harsono. (1996). Buku Ajar Neurologi Klinis.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indoneseia. Gadjah Mada University Press.
7.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit, Edisi
2. Jakarta, EGC..
8.
Julia Klaartje Kadang, SpA (2000). Metode
Tepat Mengatasi Demam. www. Google. Com
9.
Sinarty hartanto. (2003). Anak Demam
Perlu Kompres. www. Pediatrik. Com/knal.php
10.
Sophia Theophilus. (2003). Apa Yang Perlu
Diperhatikan Bila Anak Demam. www. Kompas. Com
11.
Soetomenggolo S. taslim, Ismael Sofyan.
(1996). Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta, IDAI
12.
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
(1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II. Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta, FKUI.
No comments:
Post a Comment