TINJAUAN TEORI
LAPORAN PENDAHULUAN CKS (CIDERA KEPALA
SEDANG)
TINJAUAN TEORI
LAPORAN PENDAHULUAN
A.
Konsep Dasar
Penyakit
A.1 Pengertian
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian atau
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas ( Arif Mansjoer,2000 ).
Menurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah trauma
yang mengenai calvaria atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana
kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan
oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun
sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala (Medicastore, 2009).
Cedera kepala
sering disebabkan oleh benturan pada kepala yang menimbulkan berbagai derajat
kerusakan, yaitu:
Konkusio, tidak
terjadi kerusakan structural, gejalanya berupa pingsan kurang dari 24 jam,
paling sering hanya beberapa menit saja. Kontusio, terjadi kerusakan otak yang
lebih serius, juga terjadi perdarahan walaupun sedikit. Gejalanya berupa
pingsan yang lama ditambah dengan gangguan neurologis lain. Laserasi, jaringan
otak robek sering disebabkan oleh patah tulang tengkorak atau tertembak,
perdarahan biasanya hebat menimbulkan naiknya tekanan dalam tengkorak, juga
timbul oedema otak.
Cedera kepala adalah
suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau yang
terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala
dengan GCS ( 9-12 )
Cedera kepala adalah gangguan fungsi otak normal
karena trauma ( trauma tumpul atau trauma tusuk ). Defisit neurologis terjadi
karena robeknya subtansi alba, iskemia dan pengaruh masa karena hemoragi, serta
edema serebral disekitar jaringan otak.( Sandra M.Nettina.2001).
A.2 Anatomi
dan Fisologi
a. Anatomi
persarafan
Sistem saraf merupakan jalinan jaringan saraf yang
saling berhubungan ,sangat khusus, dan kompleks. sistem saraf ini
mengkoordinasikan, mengatur, dan mengendalikan interaksi antara seorang idividu
dengan lingkungan sekitarnya.( Lorrance Mc Carty Wilson,2005 )
Sistem saraf merupakan jaringan saraf yang terdiri dari
neuron. Neuron mempunyai badan sel yang mempunyai satu atau beberapa tonjolan. Dendrite adalah tonjolan yang
menghantarkan informasi menuju badan sel. Tonjolan yang tunggal atau kembar
yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel disebut akson. Bagian ujung
akson mengalami sedikit pembesaran yang disebut kancing sinaps atau benjolan sinaps.
Neuron
transmitter adalah zat kimia yang disentesis dalam neuron dan disimpan
dalam gelembung sinaps pada ujung akson.
Sistem saraf terdiri dari susunan
saraf pusat dan saraf tepi.
1. Susunan saraf pusat
a)
Otak
Otak merupakan bagian dari
sistem saraf pusat. Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena
merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf central yang
terletak di dalam rongga tengkorak ( cranium ) yang dibungkus oleh selaput otak
yang kuat. Otak terdiri dari tiga bagian utama yaitu :
1. Cerebrum
Bagian terbesar otak manusia adalah
serebrum, yang terdiri dari atas dua hemisfer yang dipisahkan oleh fisura
longitudinalis. Pada daerah basal cekungan dalam ini terdapat korpus kalosum,
suatu pita yang tertdiri atas 200 juta neuron yang menghubungkan hemisfer kanan
dan kiri.
Korteks
cerebri menjadi dibagi menjadi lobus yang mempunyai nama yang sama dengan
tulang tengkorak yang melingkupinya. Dengan demikian, masing-masing hemisfer
mempunyai lobus frontalis, lobus
paritalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis.
a).
Lobus frontalis
Didalam
lobus frontalis, terdapat motorik yang membangkitkan impuls untuk pergerakan
volunteer. Area motorik kiri mengatur pergerakan sisi kanan tubuh, dan area
motorik kanan mengatur pergerakan sisi kiri tubuh.
b).
Lobus parietalis
Area
sensorik umumnya dilobus parietalis meneriam impuls yang berasal dari reseptor
dikulit dan merasakan serta menginterprestasi sensasi kutaneus tersebut. Impuls
dari kuncup pengecap melintas menuju area pengecap, yang tumpang tindih antara
lobus parietalis dan temporalis.
c). Lobus temporalis
Menerima input dari reseptor yang ada
dibagian dalam telinga untuk
pendengaran.
d) Lobus
oksipitalis
Impuls dari retina mata berjalan melewati
nervus optikus ( pengelihatan ) menuju area visul.
(
Valerie C. Scanlon Tina Sanders, 2006 )
2.
Cerebelum
Cerebelum terletak fosa posterior dan terpisah dari hemisfer
serebral, lipatan dura meter, tentorium
serebelum.
Fungsi cerebelum pada umumnya adalah
mengkoordinasikan gerakan–gerakan otot sehingga gerakan dapat terlaksana dengan
sempurna, keseimbangan.
3. Batang
otak
Batang otak terletak pada fossa anterior. Bagian-bagian batang
otak terdiri dari otak tengah, pons dan medulla oblongata.
Pusat dari batang otak
keluar dua belas pasang saraf cranial yaitu : ( Brunner & Suddarth, 2001 ).
a)
Nervus I ( olfaktorius )
Saraf yang berfungsi untuk penciuman.
b)
Nervus II ( optikus )
Saraf ini penting untuk fungsi penglihatan
dan merupakan saraf eferen sensori khusus.
c)
Nervus III ( okulomotorius )
Saraf ini berfungsi sebagai saraf untuk
mengangkat bola mata.
d) Nervus
IV ( trochlearis )
Berfungsi memutar bola mata ke bawah dan
keluar.
e)
Nervus V ( trigeminus )
Berfungsi mengurus sensasi umum pada wajah
dan sebagian kepala, bagian dalam hidung, mulut, gigi dan meningen.
f)
Nervus VI ( abdusen )
Berfungsi menggerakkan mata ( lateral ).
g)
Nervus VII ( facialis )
Berfungsi untuk sensasi umum dan pengecapan
sedangkan saraf eferen untuk otot wajah atau mmik.
h)
Nervus VIII ( statoakustikus )
Saraf ini terdiri dari dua komponen, ialah
saraf pendengaran dan saraf keseimbangan.
i)
Nervus IX ( glassofaringeus )
Komponen motoris saraf ini mengurus
salivasi, menelan, sensasi tenggorokan dan tonsil, pengecapan ( sepertiga lidah
posterior ).
j)
Nervus X ( vagus )
Berfungsi untuk menelan, berbicara, denyut
jantung, peristaltik usus, sensasi tenggorokan laring dan visera.
k)
Nervus XI ( accesorius )
Berfungsi untuk menggerakkan bahu dan
rotasi kepala.
l)
Nervus XII ( hypoglosus )
Berfungsi untuk pergerakan lidah.
4. Susunan
saraf tepi ( perifer )
1.
Saraf somatik
2.
Saraf otonom
a. Susunan saraf simpatis
b. Susunan saraf
para simpatis
b.
Fisiologi sistem persarafan
Neuron
adalah suatu sel saraf yang merupakan unit anatomis dan fungsional sistem saraf
(Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, Patofisiologi2005).
Neuron
menyalurkan sinyal saraf keseluruh tubuh. Impuls neuron bersifat listrik
disepanjang neuron dan bersifat kimia diantara neuron. Pertemuan diantara dua
neuron atau efektor disebut sinaps.
Sinaps merupakan tempat satu-satunya dimana suatu impuls dapat lewat
dari satu neuron ke neuron lain. Celah sinapstik antar dua neuron. Neuron
parasinaps adalah neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju sinaps. Neuron
yang membawa sinaps disebut neuron post sinapstik. Satu neuron dapat mengadakan
kontak sinapstik dengan banyak neuron (
divergensi ) dan dapat menerima kontak sinapstik dari beberpa neuron ( konvergensi ) komponen listrik
transmisi saraf. Komponen listrik dari transmisi impuls disepanjang neuron
berpermeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrioum dan kalium bervariasi
dan dipengaruhi oleh perubahan kimia serta listrik di dalam neuron tersebut
(terutama neuron transmitter dan stimulus organ reseptor).
Dalam keadaan istirahat permeabilitas membran sel
menciptakan kadar kalium intra sel yang cukup kadar natrium intra sel yang
rendah, pada kadar natrium ekstra sel yang tingi. Impuls listrik timbul oleh pemindahan muatan
akibat perbedaan kadar ion intra sel dan ekstra sel yang dibatasi membran sel.
Bila rangsangan yang menimbulkan perubahan membran sel
neuron menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap ion kalium, maka neuron
menjadi hiperpolarisasi dan terhambat. Neuron yang mengalami hiperpolarisasi
tidak sanggup meneruskan impuls saraf jika rangsangan menyebabkan perubahan
listrik yang menimbulkan peningktan permeabilitas ion natrium, neuron itu
dikatakan dalam keadaan terangsang atau depolarisasi. Bila membran mengalami
depolarisasi sampai satu tingkatan kritis yang disebut ambang eksitasi maka
terjadi perubahan permeabilitas membran dengan influks natrium secara mendadak,
depolarisasi cepat, dan pembentukan potensial fisik pada tempat rangsangan.
Potensial aksi bisa disalurkan
melalui akson sebagai suatu fenomena “ tuntas atau tidak sama sekali ” dan
bukan sebagai respon bertahap. Bila potensial aksi tersebut mencapai ujung
(
terminal ) suatu akson maka tejadi pelepasan neurotransmitter gelembung
sinapstik dengan eksositas ke dalam celah sinapstik. Transmitter itu melekatkan
diri pada reseptor neuron post sinapstik atau membran efektor dan dapat atau
tidak dapat menimbulkan potensial aksi. Pada membran post sinapstik setiap
neuron diliputi oleh banyak sinaps. Apakah potensial aksi akan timbul atau
tidak ditentukan oleh keseimbangan antara eksitsa dan inhibisi yang diterima
oleh neuron pada saat itu dari semua hubungan sinapstik yang dimilikinya.
Kenyataan ini merupakan bukti lain kemajemukan dan interkomunikasi yang luas
pada sistem saraf manusia
A.3 Etiologi
b. Kecelakaan
lalu lintas
c. Cedera
akibat kekerasan
d. Trauma
benda tajam atau trauma tumpul
e. Luka
tembus peluru dan cedera tembus lainnya.
(
Arif Mansjoer,2000 ).
A.4
Pathofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang
berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing
tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu
foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer
serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil
bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan
bergeser kekanan pada pasien hipertensi dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO
berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak
dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO
tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut,
sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah
pasien sebelumcedera). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah
digesernya CSS dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya
tekanan intrakranial aka naik secara tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran
otak
dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan
meninggikan TIK yang berakibat gangguan yang berakibat memperberat edema
sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga
pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK,
kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom
lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi
konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.Penurunan kesadaran
adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral
serta cedar pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian
TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran
A.6 Klasifikasi
Cedera kepala Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme, keparahan dan morfologi cidera. ( Arif Mansjoer, 2000 ).
1. Mekanisme:
berdasarkan adanya peterasi durameter
a. Trauma
tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil )
Kecepatan rendah ( terjatuh,dipukul )
b. Trauma
tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2. Keparahan
cedera
a. Ringan
: Skala koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS ) 14-15
b. Sedang
: GCS 9-13
c. Berat : GCS 3-8
3.
Morfologi
a.
Fraktur tulang tengkorak : kranium : linear / stelatum; depresi / non
depresi; terbuka / tertutup, basisi :
dengan / tanpa kebocoran cairan cerebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus
VII.
b. Lesi intra cranial : fokal : epidural, subdural,
intra cerebral , difusi: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.
( Arief Mansjoer, 2000 )
A.7 Tanda dan gejala
a. penurunan
tingkat kesadaran
b. nyeri
kepala
c. Mual
dan muntah
d. Pupil
edema
e. Dilatasi
pupil ipsilateral
f.
peningkatan suhu.
A.8
Pemeriksaan penunjang
a.
CT-Scan
b.
MRI ( Magnetik
Resonance Imaging )
c. EEG
( Elektroensepalogram )
d.
Pemeriksaan tulang belakang: deformitas, pembekakan ,
nyeri tekan, gangguan gerakan ( terutam leher ). Jangan banyak manipulasi
tulang belakang.
e.
Pemeriksaan radiologi: foto polos vertebral AP dan
lateral. Pada servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka ( odontoid ).
( Arief Mansjoer,200 ).
A.9 Penatalaksanaan
1. Pedoman
Resusitasi dan penilaian awal
a. Menilai jalan nafas: bersihkan
jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang
servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel
bila dapat ditolerir, jika cedera orofasial
mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.
b. Menilai
penafasan: tentukan apakah pasien
bernafas sepontan atau tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen
Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi,jika tersedia, dengan tujuan menjaga
satutasi oksigen minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan
terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi
O2 > 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.
c. Menilai
sirkulasi: Otak yang rusak tidak
mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya.
Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang alur intravena yang
besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum,
elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid.
Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau dekstrosa dalam salin )
menimbulkan eksaserbasi edema otak
pascacedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk
cedera kepala.
d. Obati
kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.
e. Menilai
tingkat keparahan
1. Cedera
kepala ringan ( kelompok risiko rendah )
a.
Skor skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, atentif, dan
orientatif )
b. Tidak
ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
c. Tidak
ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d. Pasien
dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien
dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
f. Tidak
adanya kreteria cedera sedang berat
2. Cedera kepala sedang ( kelompok resiko
sedang )
a. Skor
skala koma Glasgow 9-14 ( konfusi, latergi, atau stupor )
b. Konkusi
( tidak terjadi kerusakan struktural )
c. Amnesia
pasca-trauma
d. Muntah
e. Tanda
kemungkinan fraktur kranium ( tanda
Battle, hemotimpanum, otorea ( keluar
cairan dari telinga ) atau rinorea (
keluar cairan dari hidung )
f. Kejang
3.
Cedra kepala berat ( kelompok risiko berat )
a. Skor
skala koma Glasgow 3-8 ( koma )
b. Penurunan
derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda
neurologis fokal
d. Cedra
kepala penetrasi atau terba fraktur depresi karanium
Tabel 1.1 Skala
Koma Glasgow ( GCS ) ( Brunner & Suddart, 2001 )
Buka mata
( E )
|
Respon motorik terbaik
( M )
|
Respon verbal terbaik
( V )
|
(4) Spontan
(3) Dengan perintah
(2)
Dengan rangsangan nyeri
(1) Tidak reaksi
|
(6) mengikuti perintah
(5) melokalisir nyeri
(4) menghindar
nyeri
(3) fleksi
abnormal
(2) ekstensi abnormal
(1) Tidak
ada gerakan
|
(5) orientasi baik dan sesuai
(4) disorienasi tempat dan waktu
(3) bicara kacau
(2) mengerang
(1) tidak ada suara
|
2. Pedoman Penatalaksanaan
a. Pada semua pasien dengan cedera kepala
dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi
antero-posterior, lateral, dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
b. Pada semua pasien dengan cedera
kepalasedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
1.
Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal
( NaCl
0,9% ) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti
volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan lain tidak
menambah edema serebri.
2.
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer
lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin
atau masa tromboplastin parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
c. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepada tidak diperlukan
jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi
fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, berat, harus dievaluasi
adanya:
1.
Hematoma epidural
2.
Darah dalam subaranoid dan intraventrikel
3.
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
4.
Edema serebri
5.
Obliterasi sisterna perimesensefalik
6.
Pergeseran garis tengah
7.
Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
d. Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 )
atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan sebagai berikut:
1.
Elevasi kepala 30 derajat
2.
Hiperventilasi: intubasi dan berikan venlilasi
mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal
10-12 ml/kg.Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg.Hipokapnia berat ( pCO2 < 25 mmHg ) harus dihindari
sebab dapat menyebabkan vasokontriksi
dan iskemia serebri
3.
Berikan manitol 20 % 1 g/kg interavena dalam 20-30
meni. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula
setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
4.
Pasang kateter Foley
5.
Konsul bedah saraf
bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma,
cedera kepala terbuka, dan faktur impresi > 1 diploe )
3. Penatalaksanaan Khusus
a. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera
kepala ini umumnya dapat dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemerikasaan
CT Scan bila memenuhi kreteria
berikut:
1. Hasil
pemeriksaan neurologis ( terutama status mini mental dan gaya berjalan ) dalam
batas normal
2. Foto
servikal jelas normal
3. Adanya
orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan intruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
1.
Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada
CT Scan
2.
Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3.
Adanya tanda atau dan gejala neurologis fokal
4.
Intoksikasi obat atau alkohol
5.
Adanya penyakti medis komorbid yang nyata
6.
Tiadak adanya orang yang dapat dipercaya untuk
mengamati pasien dirumah.
b. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio), dengan skala
koma Glasgow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien
ini dapat dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
1)
Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan
stabilisasi tanda vital keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat
indikasi intervensi bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ).
Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan
ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala
berat seyogyanya dilakukan diunit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang
dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat
mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan
intracranial yang meningkat.
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya,
pasien dengan stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena derajat
kesadaran menurun ) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada
bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai
pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.
b. Monitor
tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik (
hipotensi atau hipertensi ), pemantauan paling baik dilakukan dengan keteter arteri. Karena autoregulasi
sering terganggu pada cedera kepal akut, maka tekanan arteri rata-rata harus
dipertahankan untuk menghindarkan
hipotensi
( <
70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg ). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
c. Pemasangan
alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan
d. Penatalaksanaan
cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau Ringer laktat ) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam
salain 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi
edema serebri.
e. Nutrisi:
cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100 % lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui
pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera
mungkin ( biasanya hari ke 2 perawatan )
f. Temperatur
badan: demam ( temperature > 101 derajat F ) mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Pengobatan penyebab ( antibiotik ) diberikan bila perlu.
g. Anti
kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena
mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini ( minggu pertama ) dari 14 %
menjadi 4 % pada pasien dengan perdarahan intracranial traumatik. Pemberian
fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari.
Kadar fenitoin harus dipantau ketat karean kadar subtrapi sering disebabkan
hipermetabolisme fenitoin.
h. Steroid:
steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala
dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain.
Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terahir pada herniasi
serebri akut
(deksametason 10 mg interavena setiap 4-6
jam selama 48-72 jam ).
i.
Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot
komprensif pneumatic dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah
terjadinya thrombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang
berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam
dapat deberikan setelah cedera kepala
pasien dengan imobilisasi lama, bahkan
dengan adanya perdarahan intracranial.( Arif Mansjoer, 2000 ).
A.10 Komplikasi
a. Edema
Pulmonalis
Komplikasi
paru-paru yang serius pada cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin
terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distress
pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera otak yang menyebabkan
adanya Refleks Cusihing. Peningkatan pada tekanan darah simtemik terjadi
sebagai respons dari system saraf simpatis pada peningkatan TIK.
b. Kejang
Kejang
terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Satu-satunya
tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam merupakan obat yang
paling banyak dipergunakan dan diberikan secara perlahan melalui intravena.
c. Kebocoran
Cairan Serebrospinal
Hal yang tidak umum pada beberapa
pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS
dari telinga atau hidung. Hal ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anterior
dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrous dari
tulang temporal. ( Hudak,1996 )
B.
Konsep Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Pada Klien Dengan Diagnosa Medis CKB ( Cedera Kepala
Berat )
Proses keperawatan adalah: suatu
metode dimana suatu konsep diterapkan dalam prktik keperawatan. Hal ini bisa
disebut sebagai suatu pendekatan problem-solving yang memerlukan ilmu, teknik,
dan keterampilan intrapersonal dan ditujukan utuk memenuhi kebutuhan
klien/keluarga.( Nursalam,2001 )
Asuhan keperawatan adalah factor
penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek, rehabilitasi, dan preventif
perawat kesehatan.
(
Marilynn E. Doenges, 2000 )
Langkah-langkah dalam penerapan asuhan
keperawatan meliputi : pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap dari proses
keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data
dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien ( Nursalam,2001 )
Langkah-langkah
dalam pengkajian meliputi:
a. Pengumpulan data
Ada 2 tipe data
pada pengkajian:
1.
Data Subyektif
Data
subyektif adalah data yang didapatkan dari klen sebagai suatu pendapat terhadap
suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh
perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunkasi.
2.
Data obyektif
Data
obyektif adalah data yang dapat diobservasi dan diukur. Informasi tersebut
biasanya diperoleh melalui “ senses “: 2S
( sight,smell ) dan HT ( hearing dan touch atau taste ) selama
pemeriksaan fisik.
Pengumpulan
data pasien baik subyektif maupun obyektif pada trauma kepala adalah sebagai
berikut:
3.
Identitas
a.
Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama/suku
bangsa, status perkawinan, pendidikan, bahasa yang digunakan, alamat,
pekerjaan, golongan darah, penghasilan.
b.
Identitas penanggung Jawab: nama, umur, jenis kelamin,
agama/suku bangsa, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan
klein.
4.
Keluhan Utama
Umumnya keluhan utama saat klien
dirawat/masuk rumah sakit penurunan tingkat kesadaran( GCS 9-12 ), pusing,
sakit kepala, gangguan motorik, kejang, gangguan sensorik dan gangguan
kesadaran. Format PQRST dapat digunakan untuk mempermudah pengumpulan data,
penjabaran dari PQRST adalah :
P
(paliatif) : apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan memperberat.
Q (quantitas): seberapa berat keluhan,
bagaimana rasanya ? seberapa sering
terjadinya ?
R (radiasi) : dimanakah lokasi keluhan ?, bagaimana
penyebarannya.
S (skala) :
dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran, skala nyeri untuk keluhan
nyeri.
T
(timing) : kapan keluhan itu terasa ?, seberapa sering keluhan itu terasa.
5.
Riwayat penyakit sekarang
merupakan
rangkaian kejadianmulai dari terjadinya trauma sehingga klien masuk rumah
sakit.
6.
Riwayat penyakit dahulu
merupakan riwayat penyakit yang
pernah diderita klien dan berhubungan dengan sistem persarafan.
7.
Primary survey
a. Airway
Sebelum melakukan manipulasi,
anggaplah ada fraktur servikal pada setiap penderita multitrauma, terlebih bila
ada penurunan kesadaran atau jejas diatas dari klavikula. Bersihkan jalan nafas
dari segala sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang
patah dll. Jika panderita sadar dan dapat berbicara maka airway dinilai baik
tetapi tetap perlu reevaluasi. Lakukan intubasi jika apnea, GCS < 8,
pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai 90%
(PaO2 < 60 mmHg).
b. Breating
Evaluasi meliputi inspeksi terhadap
batuk dan pergerakan dada yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan
adanya darah atau udara dalam rongga pleura, auskultasi untuk memastikan
masuknya udara kedalam paru.
c. Circulation
Respon awal tubuh terhadap pendarahan
adalah takikardi untuk mempertahankan kardiak output walaupun stroke volume
menurun. Jika aliran darah keorgan vital sudah tidak dapat dipertahankan lagi,
maka timbullah hipotensi.
d. Disability
·
GCS setelah resusitasi
·
Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
·
Nilai kekuatan motorik kiri dan kanan
apakah ada parase atau tidak
e. Eksposure
Dengan menghindarkan hipotermi, semua
pakaian yang menutupi tubuh penderita harus dilepas atau dibuka agar tidak ada
cedera yang terlewatkan selama pemeriksaan.
7.
Secondary
survey
o
Kepala dan leher
Dilakukan evaluasi terhadap adanya
tanda-tand trauma eksternal seperti kontusio jaringan acchymosis, laserasi atau
pembengkakan jaringan lunak.
o
Thoraks
Inspeksi perhatikan ada tidaknya
luka bentuk dan pergerakan dinding toraks saat bernafas. Palpasi, perhatikan
ada tidaknya emfisema subkutis dan bermasker luasnya emfisema untuk evaluasi
selanjutnya. Periksa juga tanda-tanda step off tulang, deviasi, trakea dan
nyeri tekan.
o
Abdomen
Dapat dilakukan USG bila tersedia
untuk evaluasi koleksi cairan
o
Ekstremitas
Perkiraan kehilangan darah pada
beberapa fraktur tertutup tulang ekstremitas dan pelvis antara lain :
·
Humerus atau radius ulna dapat mencapai ± 200cc
·
Tibia dapat mencapai ± 500cc
·
Femur dapat mencapai ± 1000cc
·
Pelvis dapat mencapai ± 3000cc
8. Tersiery survey
·
Riwayat kesehatan
·
Riwayat trauma
·
Riwayat penyakit jantung
·
Riwayat infeksi
·
Riwayat pemakaian obat
·
Pemeriksaan laboratorium
·
Analisa gas darah
9. Pemeriksaan fisik
pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik
menggunakan pendekatan secara sistematik yaitu : inspeksi, palpasi, auskultasi
dan perkusi.
a.
Keadaan Umum
Meliputi tanda-tanda vital, BB/TB,
b.
Kesadaran
Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale,
GCS )
·
Respon membuka mata ( E )
a. Membuka
mata dengan spontan ( 4 )
b. Membuka
mata dengan perintah ( 3 )
c. Membuka mat
dengan rangsangan nyeri ( 2 )
d.
Tidak reaksi reaksi apapun ( 1 )
·
Respon motorik ( M )
a. mengikuti
perintah ( 6 )
b. melokalisir
nyeri ( 5 )
c. menghindar
nyeri ( 4 )
d.
fleksi abnormal ( 3 )
e. ekstensi
abnormal ( 2 )
f. Tidak
ada reaksi apapun ( 1 )
3. Respon
verbal ( V )
a. orientasi
baik dan sesuai ( 5 )
b. disorienasi
tempat dan waktu ( 4 )
c. bicara
kacau ( 3 )
d.
mengerang ( 2 )
e. tidak
ada reaksi papaun ( 1 )
c. Pemeriksaan head to toe
1.
Kepala dan rambut
Dikaji bentuk kepala, kesemetrisan,
keadaan kulit kepala
o
Wajah
Struktur wajah, warna
kulit, ekspresi
o
Mata
Bentuk bola mata,ada tidaknya gerakan kelainan pada
bola mata
o
Hidung
Kesemetrisan,
kebersihan
5. Telinga
Kesemtrisan, kebersihan dan tidaknya kelainan fungsi
pendengaran
6. Mulut dan bibir
Kesemetrisan bibir, kelembaban, mukosa, kebersihan
mulut.
7. Gigi
Jumlah gigi lengkap atau tidak,
kebersihan, ada tidaknya peradangan pada gusi, ada tidaknya caries.
8. Leher
Posisi trakea ( deviasi trachea ), ada
tidaknya pembesaran kelenjar tiroid atau vena jugularis.
9. Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor,
tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan bentuk dan warna pada kulit.
10. Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya
suara redup pada perkusi, kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi
dan whezzing.
11.
Abdomen
Ada
tidaknya distensi abdomen. Asites, nyeri tekan
12
. Ektremitas atas dan bawah
Kesemetrisannya,
ada tidaknya oedema, pergerakan dan tonus otot, serta kebersihan
Di
dalam pemeriksaan fisik pada gangguan cedera kepala sedang ( Marilynn E.
Doenges,1999 )
a.
Aktifitas / istirahat
Gejala : merasa
lemah, letih, kaku, kehilangan keseimbangan.
Tanda
: perubahan
kesadarn, letargie, hemiparese, kuadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap,
masalah keseimbangan, cidera atau trauma, orthopedic, kehilangan tonus otot dan
tonus spatik.
b.
Sirkulasi
Gejala : normal
atau perubahan tekanan darah.
Tanda : perubahan
frekuensi jantung (bradikaria, tahikardia yang diselingi disritmia.
c.
Integritas ego
Gejala
: perubahan
tingkah laku kepribadian (terang atau
dramatis)
Tanda
: cemas
mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsive.
d.
Eleminasi
Gejala
: inkontinensia
kandung kemih / usus atau megalami gangguan fungsi.
e.
Makanan / cairan
Gejala : mual,
muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah
kemungkinan muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia).
f.
Neurosensori
Gejala
: kehilangan
kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia.
Tanda
: perubahan
kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (oreintasi, kewaspadaan,
perhatian / konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku
dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris), deviasi pada
mata. Ketidakmampuan kehilangan pengideraan seperti pengecapan, penciuman dan
pendengaran. Wajah tidak simetris, gengaman lemah tidak seimbang, reflek tendon
dalam tidak ada atau lemah, apaksia, hemiparese, kuadreplegia, postur
dekortikasi atau deselebrasi, kejang sangat sensitive terhadap sentuhan dan
gerakan.
g.
Nyeri dan
kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi
yang berbeda bisaanya sama.
Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
h.
Pernafasan
Tanda
: perubahan
pada napas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), napas berbunyi, stridor,
tersendak, ronchi, mengi, kemungkinan karena konspirasi.
i.
Keamanan
Gejala
: trauma
baru atau trauma karena kecelakaan.
Tanda
: fraktur
dislokasi, gangguan penglihtan, kulit aserasi, abrasi, tanda battle disekitar
telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan dari telinga /
hidung, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan
secara umum mengalami paralysis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.
Interaksi sosial
Gejala : apasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria dan
anomia.
k.
Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala
: penggunaan
alkohol atau obat lain.
1. Rencana
pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi,
menyiapkan makan, belanja perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga,
perubahan tata ruang atau fasilitas lainnya di rumah.
2.
Diagnosa
Keperawatan ( NANDA )
Diagnosa
keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan, mengatasi kebutuhan
spesifik psien serta respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi.
( Marilynn E. Doenges, 2000 )
Diagnosa
keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia ( status
kesehatan atau resiko perubahan pola ) dari individu atau kelompok dimana
perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi
secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah,
dan merubah. ( Carpenito, 2002 )
NANDA
menyatakan bahwa diagnose keperawatan adalah “keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan actual atau
potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan
asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat”.
Adapun diagnosa keperawatan yang sering
muncul antara lain :
a.
Ketidakefektifan
jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral ( respon local atau umum
pada cedera, perubahan metabolik) penurunan tekanan darah/hipoksia hipolemia disritmia jantung
b.
Ketidakefektifan Pola Napas berhubungan
dengan pertukaran udara eksipirasi dan
inspirasi
c.
Ketidak seimbangan Nutrisi; lebih sedikit dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake, nutrisi
tidak cukup untuk metabolisme tubuh
d.
Risiko Infeksi berhubungan dengan kerusakan pada
jaringan dan peningkatan risiko masuknya organisme
pathogen
3. Rencana
tindakan Keperawatan
Rencana
tindakan keperawatan adalah desain spesifik intervensi untuk membantu dalam
mencapai kreteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan berdasarkan komponen
penyebab dari diagnose keperawatan. Oleh karena itu rencana mendefinisikan
suatu aktifitas yang diperlukan untuk membatasi fakto-faktor pendukung terhadap
suatu permasalahan. ( Nursalam, 2001 ).
Rencana tindakan keperawatan
adalah preskripsi untuk prilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau
tindakan yang harus di lakukan oleh perawat.( Maritynn E. Doenges, 2000).
DAFTAR
PUSTAKA
Arif Mansjoer ( 2000 ) . Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3,
Jilid 2, Jakarta,
Brunner & Suddarth, ( 2001 ). Keperawatan Medikal Bedah.
EGC. Jakarta
Carpenito, Lynda Juall, 2007, Buku Saku Diagnosa
Keperawatan, Edisi 10, Alih Bahasa Yasmin Asih, S.Kp, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta.
Hudak
& Gallo, 2002, Keperawatan
kritis : suatu pendekatan holistic, EGC, Jakarta.
Kus Irianto ( 2004 ). Struktur dan Fungsi tubuh manusia. EGC.
Jakarta
Mariliyn E. Doenges, (2000 ). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC.
Jakarta
Medicastore (2009). Cedera Kepala. Tersedia di www.medicastore.com. Diakses pada tanggal 17 April
2010
Nanda ( 2010 ). Diagnosa
Keperawatan. EGC. Jakarata.
Nursalam ( 2001 )
. Proses & Dokumentasi Keperawatan.
Edisi Pertama-Jakarta
RitaYuliani,(2001).Nursingbegin.http://webcache.googleusercontent.com.
tanggal 17 desember jam 16.00
Sandra M. Nettina, ( 2001 ). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC.
Jakarta
Sylvia A.
Price,Lorraine M. Wilson ( 2005 ).Patofisiologi,konsep
klinis proses-proses penyakit. EGC. Jakarta
Valerie C. Scanlon
Tina Sanders ( 2006 ) . Buku ajar anatomi
dan fisiologi. EGC . Jakarta.
No comments:
Post a Comment