Tuesday, January 6, 2015

CIDERA KEPALA


TINJAUAN TEORI
LAPORAN PENDAHULUAN CKS (CIDERA KEPALA SEDANG)

TINJAUAN TEORI

LAPORAN PENDAHULUAN 
A.    Konsep Dasar Penyakit
A.1 Pengertian
                 Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian atau kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas ( Arif Mansjoer,2000 ).
Menurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Medicastore, 2009).
Cedera kepala sering disebabkan oleh benturan pada kepala yang menimbulkan berbagai derajat kerusakan, yaitu:
Konkusio, tidak terjadi kerusakan structural, gejalanya berupa pingsan kurang dari 24 jam, paling sering hanya beberapa menit saja. Kontusio, terjadi kerusakan otak yang lebih serius, juga terjadi perdarahan walaupun sedikit. Gejalanya berupa pingsan yang lama ditambah dengan gangguan neurologis lain. Laserasi, jaringan otak robek sering disebabkan oleh patah tulang tengkorak atau tertembak, perdarahan biasanya hebat menimbulkan naiknya tekanan dalam tengkorak, juga timbul oedema otak.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala dengan GCS ( 9-12 )
Cedera kepala adalah gangguan fungsi otak normal karena trauma ( trauma tumpul atau trauma tusuk ). Defisit neurologis terjadi karena robeknya subtansi alba, iskemia dan pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral disekitar jaringan otak.( Sandra M.Nettina.2001).
A.2 Anatomi dan Fisologi
a.    Anatomi persarafan
Sistem saraf merupakan jalinan jaringan saraf yang saling berhubungan ,sangat khusus, dan kompleks. sistem saraf ini mengkoordinasikan, mengatur, dan mengendalikan interaksi antara seorang idividu dengan lingkungan sekitarnya.( Lorrance Mc Carty Wilson,2005 )
Sistem saraf merupakan jaringan saraf yang terdiri dari neuron. Neuron mempunyai badan sel yang mempunyai satu atau beberapa tonjolan. Dendrite adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju badan sel. Tonjolan yang tunggal atau kembar yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel disebut akson. Bagian ujung akson mengalami sedikit pembesaran yang disebut kancing sinaps atau benjolan sinaps.
Neuron transmitter adalah zat kimia yang disentesis dalam neuron dan disimpan dalam gelembung sinaps pada ujung akson. 
Sistem saraf terdiri dari susunan saraf pusat dan saraf tepi.
1. Susunan saraf pusat
a)      Otak
Otak merupakan bagian dari sistem saraf pusat. Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf central yang terletak di dalam rongga tengkorak ( cranium ) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari tiga bagian utama yaitu :
1.    Cerebrum
       Bagian terbesar otak manusia adalah serebrum, yang terdiri dari atas dua hemisfer yang dipisahkan oleh fisura longitudinalis. Pada daerah basal cekungan dalam ini terdapat korpus kalosum, suatu pita yang tertdiri atas 200 juta neuron yang menghubungkan hemisfer kanan dan kiri.
       Korteks cerebri menjadi dibagi menjadi lobus yang mempunyai nama yang sama dengan tulang tengkorak yang melingkupinya. Dengan demikian, masing-masing hemisfer mempunyai lobus frontalis, lobus paritalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis.
a). Lobus frontalis
Didalam lobus frontalis, terdapat motorik yang membangkitkan impuls untuk pergerakan volunteer. Area motorik kiri mengatur pergerakan sisi kanan tubuh, dan area motorik kanan mengatur pergerakan sisi kiri tubuh.
b). Lobus parietalis
Area sensorik umumnya dilobus parietalis meneriam impuls yang berasal dari reseptor dikulit dan merasakan serta menginterprestasi sensasi kutaneus tersebut. Impuls dari kuncup pengecap melintas menuju area pengecap, yang tumpang tindih antara lobus parietalis dan temporalis.
c).  Lobus temporalis
 Menerima input dari reseptor yang ada dibagian   dalam telinga untuk pendengaran.
d)     Lobus oksipitalis
  Impuls dari retina mata berjalan melewati nervus optikus ( pengelihatan ) menuju area visul.
  (  Valerie C. Scanlon Tina Sanders, 2006 )
2.    Cerebelum
       Cerebelum terletak fosa posterior dan terpisah dari hemisfer serebral, lipatan dura meter, tentorium serebelum.
    Fungsi cerebelum pada umumnya adalah mengkoordinasikan gerakan–gerakan otot sehingga gerakan dapat terlaksana dengan sempurna, keseimbangan.

3.    Batang otak
   Batang otak terletak pada fossa anterior. Bagian-bagian batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medulla oblongata.
Pusat dari batang otak keluar dua belas pasang saraf cranial yaitu : ( Brunner & Suddarth, 2001 ).
a)   Nervus I ( olfaktorius )
     Saraf yang berfungsi untuk penciuman.
b)   Nervus II ( optikus )
     Saraf ini penting untuk fungsi penglihatan dan merupakan saraf eferen sensori khusus.
c)   Nervus III ( okulomotorius )
     Saraf ini berfungsi sebagai saraf untuk mengangkat bola mata.
d)  Nervus IV ( trochlearis )
     Berfungsi memutar bola mata ke bawah dan keluar.
e)   Nervus V ( trigeminus )
     Berfungsi mengurus sensasi umum pada wajah dan sebagian kepala, bagian dalam hidung, mulut, gigi dan meningen.
f)    Nervus VI ( abdusen )
     Berfungsi menggerakkan mata ( lateral ).
g)   Nervus VII ( facialis )
     Berfungsi untuk sensasi umum dan pengecapan sedangkan saraf eferen untuk otot wajah atau mmik.
h)   Nervus VIII ( statoakustikus )
     Saraf ini terdiri dari dua komponen, ialah saraf pendengaran dan saraf keseimbangan.
i)     Nervus IX ( glassofaringeus )
     Komponen motoris saraf ini mengurus salivasi, menelan, sensasi tenggorokan dan tonsil, pengecapan ( sepertiga lidah posterior ).
j)     Nervus X ( vagus )
     Berfungsi untuk menelan, berbicara, denyut jantung, peristaltik usus, sensasi tenggorokan laring dan visera.
k)   Nervus XI ( accesorius )
     Berfungsi untuk menggerakkan bahu dan rotasi kepala.
l)     Nervus XII ( hypoglosus )
     Berfungsi untuk pergerakan lidah.
4.      Susunan saraf tepi ( perifer )
1.             Saraf somatik
2.             Saraf otonom
a.  Susunan saraf simpatis
b. Susunan saraf para simpatis
b.        Fisiologi sistem persarafan
            Neuron adalah suatu sel saraf yang merupakan unit anatomis dan fungsional sistem saraf (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, Patofisiologi2005).   
     Neuron menyalurkan sinyal saraf keseluruh tubuh. Impuls neuron bersifat listrik disepanjang neuron dan bersifat kimia diantara neuron. Pertemuan diantara dua neuron atau efektor disebut sinaps.  Sinaps merupakan tempat satu-satunya dimana suatu impuls dapat lewat dari satu neuron ke neuron lain. Celah sinapstik antar dua neuron. Neuron parasinaps adalah neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju sinaps. Neuron yang membawa sinaps disebut neuron post sinapstik. Satu neuron dapat mengadakan kontak sinapstik dengan banyak neuron ( divergensi ) dan dapat menerima kontak sinapstik dari beberpa neuron ( konvergensi ) komponen listrik transmisi saraf. Komponen listrik dari transmisi impuls disepanjang neuron berpermeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrioum dan kalium bervariasi dan dipengaruhi oleh perubahan kimia serta listrik di dalam neuron tersebut (terutama neuron transmitter dan stimulus organ reseptor).         
Dalam keadaan istirahat permeabilitas membran sel menciptakan kadar kalium intra sel yang cukup kadar natrium intra sel yang rendah, pada kadar natrium ekstra sel yang tingi.  Impuls listrik timbul oleh pemindahan muatan akibat perbedaan kadar ion intra sel dan ekstra sel yang dibatasi membran sel.
            Bila rangsangan yang menimbulkan perubahan membran sel neuron menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap ion kalium, maka neuron menjadi hiperpolarisasi dan terhambat. Neuron yang mengalami hiperpolarisasi tidak sanggup meneruskan impuls saraf jika rangsangan menyebabkan perubahan listrik yang menimbulkan peningktan permeabilitas ion natrium, neuron itu dikatakan dalam keadaan terangsang atau depolarisasi. Bila membran mengalami depolarisasi sampai satu tingkatan kritis yang disebut ambang eksitasi maka terjadi perubahan permeabilitas membran dengan influks natrium secara mendadak, depolarisasi cepat, dan pembentukan potensial fisik pada tempat rangsangan.
            Potensial aksi bisa disalurkan melalui akson sebagai suatu fenomena “ tuntas atau tidak sama sekali ” dan bukan sebagai respon bertahap. Bila potensial aksi tersebut mencapai ujung
      ( terminal ) suatu akson maka tejadi pelepasan neurotransmitter gelembung sinapstik dengan eksositas ke dalam celah sinapstik. Transmitter itu melekatkan diri pada reseptor neuron post sinapstik atau membran efektor dan dapat atau tidak dapat menimbulkan potensial aksi. Pada membran post sinapstik setiap neuron diliputi oleh banyak sinaps. Apakah potensial aksi akan timbul atau tidak ditentukan oleh keseimbangan antara eksitsa dan inhibisi yang diterima oleh neuron pada saat itu dari semua hubungan sinapstik yang dimilikinya. Kenyataan ini merupakan bukti lain kemajemukan dan interkomunikasi yang luas pada sistem saraf manusia 

A.3             Etiologi
b.    Kecelakaan lalu lintas
c.    Cedera akibat kekerasan
d.   Trauma benda tajam atau trauma tumpul
e.    Luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.
     ( Arif Mansjoer,2000 ).
A.4 Pathofisiologi
         Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensi dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelumcedera). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya CSS dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial aka naik secara tajam.
         Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran
otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedar pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran
          A.6 Klasifikasi
Cedera kepala Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan dan morfologi cidera. ( Arif Mansjoer, 2000 ).
1.    Mekanisme: berdasarkan adanya peterasi durameter
a.    Trauma tumpul : kecepatan tinggi ( tabrakan otomobil )
     Kecepatan rendah ( terjatuh,dipukul )
b.   Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2.    Keparahan cedera
a.    Ringan : Skala koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS ) 14-15
b.   Sedang : GCS 9-13
c.    Berat    : GCS 3-8
3.    Morfologi
a. Fraktur tulang tengkorak : kranium : linear / stelatum; depresi / non depresi;  terbuka / tertutup, basisi : dengan / tanpa kebocoran cairan cerebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII.
b. Lesi intra cranial : fokal : epidural, subdural, intra cerebral , difusi: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.
 ( Arief Mansjoer, 2000 )
        A.7  Tanda dan gejala
a.     penurunan tingkat kesadaran
b.     nyeri kepala
c.     Mual dan muntah
d.    Pupil edema
e.     Dilatasi pupil ipsilateral
f.      peningkatan suhu.
A.8  Pemeriksaan penunjang
a.     CT-Scan
b.    MRI ( Magnetik Resonance Imaging )
c.     EEG ( Elektroensepalogram )
d.   Pemeriksaan tulang belakang: deformitas, pembekakan , nyeri tekan, gangguan gerakan ( terutam leher ). Jangan banyak manipulasi tulang belakang.
e.    Pemeriksaan radiologi: foto polos vertebral AP dan lateral. Pada servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka ( odontoid ).
( Arief Mansjoer,200 ).
A.9    Penatalaksanaan
1.  Pedoman Resusitasi dan penilaian awal
a.       Menilai jalan nafas: bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir, jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.
b.      Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi,jika tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat ( PaO2  > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.
c.       Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut  jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau dekstrosa dalam salin ) menimbulkan  eksaserbasi edema otak pascacedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
d.      Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
e.       Menilai tingkat keparahan
1.       Cedera kepala ringan ( kelompok risiko rendah )
a.         Skor skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, atentif, dan orientatif )
b.     Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
c.      Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d.     Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e.    Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
f.      Tidak adanya kreteria  cedera sedang berat

         2.       Cedera kepala sedang ( kelompok resiko sedang )
a.    Skor skala koma Glasgow 9-14 ( konfusi, latergi, atau stupor )
b.     Konkusi ( tidak terjadi kerusakan struktural )
c.      Amnesia pasca-trauma
d.     Muntah
e.    Tanda kemungkinan fraktur kranium  ( tanda Battle, hemotimpanum, otorea ( keluar cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung )
f.      Kejang
3.             Cedra kepala berat ( kelompok risiko berat )
a.      Skor skala koma Glasgow 3-8 ( koma )
b.     Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c.      Tanda neurologis fokal
d.   Cedra kepala penetrasi atau terba fraktur depresi karanium
Tabel 1.1 Skala Koma Glasgow ( GCS ) ( Brunner & Suddart, 2001 )
Buka mata
( E )
Respon motorik terbaik
( M )
Respon verbal terbaik
( V )
(4) Spontan

(3) Dengan perintah

(2) Dengan    rangsangan   nyeri

(1) Tidak reaksi
(6)  mengikuti       perintah

(5)  melokalisir nyeri

(4) menghindar nyeri

(3) fleksi abnormal

(2) ekstensi abnormal

(1) Tidak ada gerakan
(5) orientasi baik dan sesuai

(4) disorienasi tempat dan waktu

(3) bicara kacau

(2) mengerang

(1) tidak ada suara
                   2.  Pedoman Penatalaksanaan
                        a.       Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
                        b.      Pada semua pasien dengan cedera kepalasedang dan berat, lakukan prosedur berikut :
1.             Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal
( NaCl 0,9% ) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan lain tidak menambah  edema serebri.
2.             Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
c.       Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepada tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, berat, harus dievaluasi adanya:
1.             Hematoma epidural
2.               Darah dalam subaranoid dan intraventrikel
3.               Kontusio dan perdarahan jaringan otak
4.               Edema serebri
5.               Obliterasi sisterna perimesensefalik
6.               Pergeseran garis tengah
7.               Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
d.      Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 ) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan sebagai berikut:
1.             Elevasi kepala 30 derajat
2.             Hiperventilasi: intubasi dan berikan venlilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg.Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg.Hipokapnia berat     ( pCO2 < 25 mmHg ) harus dihindari sebab dapat menyebabkan  vasokontriksi dan iskemia serebri
3.             Berikan manitol 20 % 1 g/kg interavena dalam 20-30 meni. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
4.             Pasang kateter Foley
5.             Konsul bedah saraf  bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma, cedera kepala terbuka, dan faktur impresi > 1 diploe )

3.  Penatalaksanaan Khusus
a.    Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemerikasaan CT Scan bila memenuhi kreteria berikut:
1.    Hasil pemeriksaan neurologis ( terutama status mini mental dan gaya berjalan ) dalam batas normal
2.    Foto servikal jelas normal
3.    Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan intruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
     Kriteria perawatan di rumah sakit:
1.        Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
2.        Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3.        Adanya tanda atau dan gejala neurologis fokal
4.        Intoksikasi obat atau alkohol
5.        Adanya penyakti medis komorbid yang nyata
6.        Tiadak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah.
b.    Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio), dengan skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
1)        Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan  ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan diunit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intracranial yang meningkat.
a.    Penilaian  ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dengan stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun ) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.
b.    Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik ( hipotensi atau hipertensi ), pemantauan paling baik dilakukan  dengan keteter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepal akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan  untuk menghindarkan hipotensi
( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg ). Hipotensi dapat menyebabkan  iskemia otak sedangkan  hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
c.    Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan
d.   Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau Ringer laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salain 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
e.    Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100 % lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin ( biasanya hari ke 2 perawatan )
f.     Temperatur badan: demam ( temperature > 101 derajat F ) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab ( antibiotik ) diberikan bila perlu.
g.    Anti kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini ( minggu pertama ) dari 14 % menjadi 4 % pada pasien dengan perdarahan intracranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karean kadar subtrapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
h.    Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terahir pada herniasi serebri akut
     (deksametason 10 mg interavena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam ).
                                                                        i.          Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot komprensif pneumatic dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat deberikan  setelah cedera kepala pasien  dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intracranial.( Arif Mansjoer, 2000 ).
          A.10 Komplikasi
a.    Edema Pulmonalis
              Komplikasi paru-paru yang serius pada cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distress pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera otak yang menyebabkan adanya Refleks Cusihing. Peningkatan pada tekanan darah simtemik terjadi sebagai respons dari system saraf simpatis pada peningkatan TIK.
b.    Kejang
         Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat. Diazepam merupakan obat yang paling banyak dipergunakan dan diberikan secara perlahan melalui intravena.
c.    Kebocoran Cairan Serebrospinal
         Hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Hal ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrous dari tulang temporal. ( Hudak,1996 ) 





B.     Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Klien Dengan Diagnosa Medis CKB ( Cedera Kepala Berat )
          Proses keperawatan adalah: suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam prktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai suatu pendekatan problem-solving yang memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilan intrapersonal dan ditujukan utuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga.( Nursalam,2001 )
          Asuhan keperawatan adalah factor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek, rehabilitasi, dan preventif perawat kesehatan.
( Marilynn E. Doenges, 2000 )
          Langkah-langkah dalam penerapan asuhan keperawatan meliputi : pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
1.      Pengkajian
     Pengkajian merupakan tahap dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan  klien ( Nursalam,2001 )
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi:
a.      Pengumpulan data
Ada 2 tipe data pada pengkajian:
1.  Data Subyektif
Data subyektif adalah data yang didapatkan dari klen sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau komunkasi.
2.  Data obyektif
Data obyektif adalah data yang dapat diobservasi dan diukur. Informasi tersebut biasanya diperoleh melalui “ senses “: 2S
( sight,smell ) dan HT ( hearing dan touch atau taste ) selama pemeriksaan fisik.
     Pengumpulan data pasien baik subyektif maupun obyektif pada trauma kepala adalah sebagai berikut:
3.  Identitas
a.              Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, pendidikan, bahasa yang digunakan, alamat, pekerjaan, golongan darah, penghasilan.
b.             Identitas penanggung Jawab: nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klein.
4.  Keluhan Utama
Umumnya keluhan utama saat klien dirawat/masuk rumah sakit penurunan tingkat kesadaran( GCS 9-12 ), pusing, sakit kepala, gangguan motorik, kejang, gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat digunakan untuk mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari PQRST adalah :
P  (paliatif) : apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan memperberat.
Q (quantitas): seberapa berat keluhan, bagaimana  rasanya ? seberapa sering terjadinya ?
R (radiasi)    :  dimanakah lokasi keluhan ?, bagaimana penyebarannya.
S   (skala)      : dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran, skala nyeri untuk keluhan nyeri.
T   (timing)    : kapan keluhan itu terasa ?, seberapa sering keluhan itu terasa.
5.  Riwayat penyakit sekarang
          merupakan rangkaian kejadianmulai dari terjadinya trauma sehingga klien masuk rumah sakit.
6.  Riwayat penyakit dahulu
merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita klien dan berhubungan dengan sistem persarafan.
7.  Primary survey
a.      Airway
Sebelum melakukan manipulasi, anggaplah ada fraktur servikal pada setiap penderita multitrauma, terlebih bila ada penurunan kesadaran atau jejas diatas dari klavikula. Bersihkan jalan nafas dari segala sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang patah dll. Jika panderita sadar dan dapat berbicara maka airway dinilai baik tetapi tetap perlu reevaluasi. Lakukan intubasi jika apnea, GCS < 8, pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai 90% (PaO2 < 60 mmHg).
b.      Breating
Evaluasi meliputi inspeksi terhadap batuk dan pergerakan dada yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara dalam rongga pleura, auskultasi untuk memastikan masuknya udara kedalam paru.
c.       Circulation
Respon awal tubuh terhadap pendarahan adalah takikardi untuk mempertahankan kardiak output walaupun stroke volume menurun. Jika aliran darah keorgan vital sudah tidak dapat dipertahankan lagi, maka timbullah hipotensi.
d.       Disability
·         GCS setelah resusitasi
·         Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
·          Nilai kekuatan motorik kiri dan kanan apakah ada parase atau tidak
e.       Eksposure
Dengan menghindarkan hipotermi, semua pakaian yang menutupi tubuh penderita harus dilepas atau dibuka agar tidak ada cedera yang terlewatkan selama pemeriksaan.
7.      Secondary survey
o   Kepala dan leher
Dilakukan evaluasi terhadap adanya tanda-tand trauma eksternal seperti kontusio jaringan acchymosis, laserasi atau pembengkakan jaringan lunak.
o   Thoraks
Inspeksi perhatikan ada tidaknya luka bentuk dan pergerakan dinding toraks saat bernafas. Palpasi, perhatikan ada tidaknya emfisema subkutis dan bermasker luasnya emfisema untuk evaluasi selanjutnya. Periksa juga tanda-tanda step off tulang, deviasi, trakea dan nyeri tekan.
o   Abdomen
Dapat dilakukan USG bila tersedia untuk evaluasi koleksi cairan
o   Ekstremitas
Perkiraan kehilangan darah pada beberapa fraktur tertutup tulang ekstremitas dan pelvis antara lain :
·         Humerus atau radius ulna dapat mencapai ± 200cc
·         Tibia dapat mencapai ± 500cc
·         Femur dapat mencapai ± 1000cc
·         Pelvis dapat mencapai ± 3000cc

8.      Tersiery survey
·           Riwayat kesehatan
·           Riwayat trauma
·          Riwayat penyakit jantung
·          Riwayat infeksi
·          Riwayat pemakaian obat
·          Pemeriksaan laboratorium
·          Analisa gas darah

9.      Pemeriksaan fisik
pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara sistematik yaitu : inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
a.              Keadaan Umum
          Meliputi tanda-tanda vital, BB/TB,
b.               Kesadaran
Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS )
·                Respon membuka mata ( E )
a. Membuka mata dengan spontan ( 4 )
b. Membuka mata dengan perintah ( 3 )
c. Membuka mat dengan rangsangan nyeri ( 2 )
d.                        Tidak reaksi reaksi apapun ( 1 )
·                  Respon motorik ( M )
a. mengikuti perintah ( 6 )
b. melokalisir nyeri ( 5 )
c. menghindar nyeri ( 4 )
d.                        fleksi abnormal ( 3 )
e. ekstensi abnormal ( 2 )
f.  Tidak ada reaksi apapun ( 1 )
3.       Respon verbal ( V )
a. orientasi baik dan sesuai ( 5 )
b. disorienasi tempat dan waktu ( 4 )
c. bicara kacau ( 3 )
d.                        mengerang ( 2 )
e. tidak ada reaksi papaun ( 1 )
                                      c.    Pemeriksaan head to toe
1.    Kepala dan rambut
Dikaji bentuk kepala, kesemetrisan, keadaan kulit kepala
o           Wajah
Struktur wajah, warna kulit, ekspresi
o           Mata
Bentuk bola mata,ada tidaknya gerakan kelainan pada bola mata            
o           Hidung
                                                    Kesemetrisan, kebersihan
5.    Telinga
       Kesemtrisan, kebersihan dan tidaknya kelainan fungsi pendengaran
6.    Mulut dan bibir
       Kesemetrisan bibir, kelembaban, mukosa, kebersihan mulut.
7.    Gigi
       Jumlah gigi lengkap atau tidak, kebersihan, ada tidaknya peradangan pada gusi, ada tidaknya caries.
8.    Leher
       Posisi trakea ( deviasi trachea ), ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid atau vena jugularis.
9.    Integumen
       Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan bentuk dan warna pada kulit.
10.  Thorax
       Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi, kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing.
11. Abdomen
Ada tidaknya distensi abdomen. Asites, nyeri tekan
12 . Ektremitas atas dan bawah
Kesemetrisannya, ada tidaknya oedema, pergerakan dan tonus otot, serta kebersihan
Di dalam pemeriksaan fisik pada gangguan cedera kepala sedang ( Marilynn E. Doenges,1999 )
a.    Aktifitas / istirahat
Gejala  :    merasa lemah, letih, kaku, kehilangan keseimbangan.
Tanda :    perubahan kesadarn, letargie, hemiparese, kuadreplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah keseimbangan, cidera atau trauma, orthopedic, kehilangan tonus otot dan tonus spatik.
b.    Sirkulasi
Gejala  :    normal atau perubahan tekanan darah.
Tanda  :    perubahan frekuensi jantung (bradikaria, tahikardia yang diselingi disritmia.
c.    Integritas ego
Gejala :    perubahan tingkah laku kepribadian (terang atau     dramatis)
Tanda :    cemas mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsive.
d.   Eleminasi
Gejala :    inkontinensia kandung kemih / usus atau megalami gangguan fungsi.
e.    Makanan / cairan
Gejala  :    mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda  :    muntah kemungkinan muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
f.     Neurosensori
Gejala :    kehilangan kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,  tinnitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia.
Tanda :    perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental (oreintasi, kewaspadaan, perhatian / konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris), deviasi pada mata. Ketidakmampuan kehilangan pengideraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris, gengaman lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apaksia, hemiparese, kuadreplegia, postur dekortikasi atau deselebrasi, kejang sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan.
g.      Nyeri dan kenyamanan
 Gejala :    sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi yang berbeda bisaanya sama.
 Tanda :    wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
h.    Pernafasan
Tanda :    perubahan pada napas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), napas berbunyi, stridor, tersendak, ronchi, mengi, kemungkinan karena konspirasi.
i.      Keamanan
Gejala :    trauma baru atau trauma karena kecelakaan.
Tanda :    fraktur dislokasi, gangguan penglihtan, kulit aserasi, abrasi, tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan dari telinga / hidung, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.      Interaksi sosial
Gejala  :    apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria dan anomia.
k.    Penyuluhan dan pembelajaran
Gejala :    penggunaan alkohol atau obat lain.
1.    Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang atau fasilitas lainnya di rumah.

2.      Diagnosa Keperawatan ( NANDA )
       Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan, mengatasi kebutuhan spesifik psien serta respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi.
( Marilynn E. Doenges, 2000 )
       Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia ( status kesehatan atau resiko perubahan pola ) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah. ( Carpenito, 2002 )
       NANDA menyatakan bahwa diagnose keperawatan adalah “keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan actual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat”.
Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul antara lain :
a.        Ketidakefektifan jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral ( respon local atau umum pada cedera, perubahan metabolik) penurunan tekanan darah/hipoksia  hipolemia disritmia jantung
b.        Ketidakefektifan Pola Napas berhubungan dengan  pertukaran udara eksipirasi dan inspirasi
c.         Ketidak seimbangan Nutrisi; lebih sedikit dari kebutuhan tubuh  berhubungan dengan  intake, nutrisi tidak cukup untuk metabolisme tubuh
d.        Risiko Infeksi berhubungan dengan kerusakan pada jaringan dan peningkatan risiko masuknya organisme pathogen
3.      Rencana tindakan Keperawatan
            Rencana tindakan keperawatan adalah desain spesifik intervensi untuk membantu dalam mencapai kreteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan berdasarkan komponen penyebab dari diagnose keperawatan. Oleh karena itu rencana mendefinisikan suatu aktifitas yang diperlukan untuk membatasi fakto-faktor pendukung terhadap suatu permasalahan. ( Nursalam, 2001 ).
                   Rencana tindakan keperawatan adalah preskripsi untuk prilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus di lakukan oleh perawat.( Maritynn E. Doenges, 2000).












































DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer ( 2000 ) . Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, Jakarta,

     Brunner & Suddarth, ( 2001 ). Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta

Carpenito, Lynda Juall, 2007, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 10, Alih Bahasa Yasmin Asih, S.Kp, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

     Hudak & Gallo, 2002, Keperawatan kritis : suatu pendekatan holistic, EGC, Jakarta.

     Kus Irianto ( 2004 ). Struktur dan Fungsi tubuh manusia. EGC. Jakarta

Mariliyn E. Doenges, (2000 ). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta

Medicastore (2009). Cedera Kepala. Tersedia di www.medicastore.com. Diakses pada tanggal 17 April 2010

     Nanda ( 2010 ). Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarata.

Nursalam ( 2001 ) . Proses & Dokumentasi Keperawatan. Edisi Pertama-Jakarta

RitaYuliani,(2001).Nursingbegin.http://webcache.googleusercontent.com. tanggal 17 desember jam 16.00

     Sandra M. Nettina, ( 2001 ). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta

Sylvia A. Price,Lorraine M. Wilson ( 2005 ).Patofisiologi,konsep klinis proses-proses penyakit. EGC. Jakarta
Valerie C. Scanlon Tina Sanders ( 2006 ) . Buku ajar anatomi dan fisiologi. EGC . Jakarta.

    

No comments:

Post a Comment