BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam dua dekade terakhir ini, kemajuan ilmu dan
teknologi kedokteran telah banyak berperan dalam menurunkan angka kematian dan
kesakitan neonatal. Demikian pula kejadian asfiksia neonatus mengalami
perubahan dalam pengelolaan secara nyata. Walaupun demikian perubahan ini
tampaknya belum dapat memecahkan masalah asfiksia secara tuntas, karena masih
sangat berpengaruh terhadap kualitas bayi dikemudian hari, karena itu perlu
pemantauan jangka panjang baik dari segi fisik / neurologik, maupun segi
kongnitif yang tinggi, termasuk kebutuhan oksigen oleh bayi.
Pada saat bayi dalam
kandungan kebutuhan oksigen dipenuhi dari ibu melaluai sirkulasi darah dari
plasenta, namun begitu bayi lahir bayi harus dapat menghasilkan sendiri oksigen
melalui pernafasan. Pernafasan pertama sangat menentukan karena oksigen sangat
dibutuhkan oleh organ vital seperti otak, jantung, paru dan ginjal, sehingga
bayi dapat melangsungkan kehidupannya. Apabila bayi tidak menangis pada saat
lahir disebut asfiksia, dan ini berarti bayi gagal bernafas secara spontan.
Asfiksia adalah suatu
keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transpor O2
dan kesulitan mengeluarkan CO2. Keadaan ini disertai dengan asidosis,
hiperkapnia dan hipoksia. Nilai APGAR yang rendah sebagai manifestasi pada bayi
saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi. Hipoksia yang
terdapat pada neonatus asfiksia merupakan faktor terpenting yang dapat
menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ektra uterin, disamping
itu juga didapatkan bahwa sindroma
gangguan nafas, infeksi dan kejang merupakan keadaan yang sering terjadi pada
neonatus dengan asfiksia. Berdasarkan penelitian dan pengalaman klinis
menunjukkan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi baru lahir
adalah asfiksia.
Angka kematian tertinggi
terjadi selama 24 jam pertama masa kehidupan neonatus, pada masa ini terjadi sekitar
40 % dari seluruh kematian dibawah usia satu tahun. Dalam dua dekade terakir
ini, angka kesakitan dan kematian pada neonatus mulai menurun, perubahan
tersebut tampak pada asfiksia neonatorum. Meskipun demikian perubahan ini
nampaknya belum dapat memecahkan permasalahan asfiksia, karena asfiksia ini
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembamgan di kemudian hari.
Sehingga di sini diperlukan pemantauan jangka panjang dengan menstimulasi
mental secara dini dan memeriksanya dengan DDST.
Apabila penanganan asfiksia
tidak efektif atau tidak sempurna maka akibatnya akan lebih buruk dan
kemungkinan timbul sekuele. Tindakan yang ditujukan / diberikan kepada neonatus
bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mencegah gejala-gejala
lanjut yang mungkin timbul. Untuk itu diagnosis dini dan antisipasi penderita
asfiksia mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaannya, sehingga
bayi mendapatkan penatalaksanaan dan perawatan yang betul, cepat dan adekuat.
Untuk mencegah /
menurunkan kejadian asfiksia, petugas kesehatan sangatlah penting peranannya,
yaitu bertanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan kepada para ibu-ibu yang
sedang mengandung untuk selalu menjaga kehamilannya dan diajarkan cara untuk mendeteksi
secara dini kelainan-kelainan yang ada, sehingga apabila terdapat masalah dapat
cepat diatasi. Oleh karena pentingnya pengelolaan terhadap asfiksia sehingga
penulis perlu memahami bagaimana penatalaksanaan pasien dengan asfiksia
Kebutuhan nutrisi bayi
hanya berasal dari cairan. Mengingat 60 % tubuh terdiri dari cairan, sehingga
apabila terjadi ketidak seimbangan pada cairan maka akibatnya akan menganggu
perfusi jaringan. Begitu pentingnya cairan tubuh pada bayi maka memerlukan
pemantauan yang intensif terhadap cairan tubuh, Berdasarkan uraian diatas maka
penulis merasa perlu untuk mempelajari jauh tentang cairan pada bayi baru lahir
yang mengalami asfiksia.
B.
Tujuan
1.Tujuan umum
Setelah menyelesaikan kontrak belajar, mampu memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Asfiksia
2.Tujuan khusus
Setelah
menyelesaikan kontrak belajar ini
§
Saya mampu menjelaskan tujuan pemberian cairan
untuk bayi baru lahir dengan asfiksia.
§
Saya mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian
therapy cairan untuk pasien asfiksia
§
Saya mampu menjelaskan peran perawat terhadap
therapy cairan pada bayi dengan Asfiksia.
§
Saya mampu menjelaskan teknik pemasangan infuse.
§
Saya mampu melakukan fiksasi/mempertahankan
kepatenan IV kateter kepada bayi asfiksia.
§
Saya mampu memberikan cairan dengan menggunakan
NGT.
§
Saya mampu menjelaskan komplikasi therapy cairan
intra vena
§
Saya mampu menghitung jumlah kebutuhan cairan
untuk bayi asfiksia
§
Saya mampu memberikan macam cairan yang
diperlukan untuk bayi baru lahir.
BAB II
TINJAUAN
TEORI
A.
Pengertian
Menurut Hanifa Wiknjosastro (2002) asfiksia neonatorum didefinisikan
sebagai keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan
teratur setelah lahir. Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi
lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 dan
kesulitan mengeluarkan CO2 (A.H Markum, 2002).
B.
Etiologi
Etiologi secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan
atau segera setelah lahir.
1.
Faktor ibu
§
Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak
mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis,
gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida, tekanan darah ibu yang rendah.
§
Penyakit pembuluh darah yang menganggu aliran
darah uterus, kompresi vena kava dan aorta saat hamil, gangguan kontraksi
uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan, hipertensi pada penyakit
eklampsia.
§
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun
§
Gravida empat atau lebih
§
Sosial ekonomi rendah
2.
Faktor plasenta
§
Plasenta tipis
§
Plasenta kecil
§
Plasenta tak menempel
§
Solusio plasenta
§
Perdarahan plasenta
3.
Faktor janin / neonatus
§
Kompresi umbilikus
§
Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
§
Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
§
Prematur
§
Gemeli
§
Kelainan congenital
§
Pemakaian obat anestesi
§
Trauma yang terjadi akibat persalinan
4.
Faktor persalinan
§
Partus lama
§
Partus tindakan
C.
Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen selama kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia.
Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan
menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak
tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi
dimulai dengan suatu periode apnoe, disertai penurunan frekuensi jantung.
Selanjutnya bayi akan menunjukkan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan
teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi
berada dalam periode apnoe yang kedua., dan ditemukan pula bradikardia dan
penurunan tekanan darah.
Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan
metabolisme dan keseimbangan asam dan basa pada neonatus. Pada tingkat awal
menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme
anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada
hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen
yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara
alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru.
Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian
atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
D.
PATHWAYS
E.
Manifestasi klinik
1.
Pernafasan cuping hidung
2.
Pernafasan cepat
3.
Tidak bernafas
4.
Nadi cepat
5.
Cyanosis
6.
Nilai APGAR kurang dari 6
Untuk menilai tingkat asfiksia: asfiksia berat, sedang atau ringan bahkan
normal dapat dipakai penilaian dengan APGAR score sebagaimana tertera pada
table berikut.
Tabel untuk menentukan tingkat/ derajat asfiksia yang dialami bayi
TANDA
|
0
|
1
|
2
|
Warna Kulit
|
Pucat kebiruan
|
Tubuh kemerahan ektremitas biru
|
Seluruh tubuh kemerahan
|
Denyut Nadi
|
Tidak teraba
|
Kurang dari 100
|
Lebih dari 100
|
Refleks
|
Tidak ada
|
Gerakan sedikit
|
Menangis
|
Tonus Otot
|
Tidak ada gerakan
|
Gerakan fleksi pada ektremitas
|
Bergerak aktif
|
Pernafasan
|
Tidak ada
|
Lambat tidak teratur
|
Menangis kuat/ keras
|
Klasifikasi klinik nilai APGAR:
1.
Asfiksia berat ( nilai APGAR 0-3)
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen
terkendali. Karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus
bikarbonat 7,5% dengan dosis 2,4 ml per kg berat badan, dan cairan glucose
40%1-2 ml/kg berat badan, diberikan via vena umbilikalis.
2.
Asfeksia sedang (nilai APGAR 4-6).
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas
kembali.
3.
Bayi normal atau asfiksia ringan ( nilai APGAR 7-9).
4.
Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Asfiksia berat dengan henti jantung, dengan keadaan bunyi jantung
menghilang setelah lahir, pemeriksaan fisik yang lain sama dengan asfiksia
berat.
F.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 )
2.
Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi
jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek)
3.
Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul
komplikasi
4.
Pengkajian spesifik
Gradasi
Hipoksi Iskemia Ensepalopati pada bayi
Tanda klinis
|
Derajat 1
|
Derajat 2
|
Derajat 3
|
Tingkat kesadaran
|
Iritabel
|
Letargi
|
Stupor, koma
|
Tonus otot
|
|
Hipotonus
|
Flaksit
|
Postur
|
|
Fleksi
|
Deserebrasi
|
Reflek tendon / klonus
|
Hiperaktif
|
Hiperaktif
|
Tidak ada
|
Reflek Moro
|
Kuat
|
Lemah
|
Tidak ada
|
Pupil
|
Medriasis
|
Miosis
|
Tidak bereflek cahaya
|
Kejang
|
Tidak ada
|
Sering terjadi
|
Deserebrasi
|
EEG
|
|
Voltase rendah, berubah dengan kejang
|
Isoelektrik
|
Durasi
|
<24 jam
|
24jam - 14 hari
|
Beberapa minggu
|
Hasil akhir
|
Baik
|
Bervariasi
|
Kematian berat
|
G.
Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah untuk mempertahankan kelangsungan
hidup dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian
hari.Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru
lahir.
Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa:
1.
Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita
asfiksia, pertumbuhan homeostasis yang timbul makin berat. Resusitasi akan
semakin sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele akan meningkat
2.
Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/
hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi
karena anoksia/hipoksia paska natal harus dicegah dan diatasi.
3.
Riwayat kehamilan dan persalinan akan memberikan
keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan
pada bayi baru lahir
4.
Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar
resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara cepat dan tepat.
Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat adalah:
1.
Membersihkan lingkungan yang baik pada bayi dan
mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya
pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar.
2.
Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi
yang menunjukkan usaha pernafasan lemah.
3.
Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi
4.
Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.
Tindakan Umum:
1.
Pengawasan suhu tubuh
Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan, karena hal ini akan
memperburuk keadaan asfiksia.Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan
panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh akan
mempertinggi metabolisme sel sehingga kebutuhabn oksigen meningkat. Perlu
diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang hangat segera setelah lahir.
Jangan biarkan bayi kedinginan (membungkus bayi dengan kain kering dan hangat),
Badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan memandikan bayi dengan air
dingin, gunakan minyak atau baby oil untuk membersihkan tubuh bayi. Kepala
ditutup dengan kain atau topi kepala yang terbuat dari plastik
2.
Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion dengan
pengisap lendir, tindakan ini dilakukan dengan hati- hati tidak perlu tergesa-
gesa atau kasar. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul penyulit
seperti: spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan nafas. Pada asfiksia
berat dilakukan resusitasi kardiopulmonal.
3.
Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Bayi yang tidak memperlihatkan usaha bernafas selama 20 detik setelah
lahir dianggap telah menderita depresi pernafasan. Dalam hal ini rangsangan
terhadap bayi harus segera dilakukan. Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa
hidung dapat pula merangsang reflek pernafasan yang sensitive dalam mukosa
hidung dan faring. Bila cara ini tidak berhasil dapat dilakukan dengan
memberikan rangsangan nyeri dengan memukul kedua telapak kaki bayi.
4.
Therapi cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksi
a.
Tujuan Pemberian Cairan untuk Bayi Baru Lahir dengan
asfiksia
1.
Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan
2.
Memberikan obat- obatan
3.
Memberikan nutrisi parenteral
b.
Keuntungan dan kerugian therapy Cairan
Keuntungan :
1.
Efek therapy segera tercapai karena penghantaran obat
ketempat target berlangsung cepat
2.
Absorbsi total, memungkinkan dosis obat lebih tepat dan
therapy lebih dapat diandalkan.
3.
Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek
therapy dapat dipertahankan maupun dimodifikasi.
4.
Ras sakit dan iritasi obat- obat tertentu jika
diberikan intramuscular dan subkutan dapat dihindari.
5.
Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorpsi dengan
rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus
gastrointestinal.
Kerugian :
1.
Resiko toksisitas/anapilaktik dan sensitivitas tinggi
2.
Komplikasi tambahan dapat timbul :
§
Kontaminasi mikroba melalui sirkulasi
§
Iritasi vaskuler ( spt phlebitis )
§
Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai
obat tambahan.
c.
Peran Perawat terhadap Therapi Cairan pada bayi baru
lahir dengan asfiksia
1.
Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi
cairan infuse maupun kemasannya.
2.
Memastikan cairan infuse diberikan secara benar
(pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian)
3.
Memeriksa kepatenan tempat insersi
4.
Monitor daerah insersi terhadap kelainan
5.
Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan program
6.
Monitor kondisi dan reaksi pasien
d.
Teknik pemasangan infuse
§
Siapkan alat-alat
§
Cuci tangan lalu gunakan sarung tangan tangan
§
Pilih vena yang terbaik, jika perlu bersihkan
area insersi dengan gerakan melingkar dari pusat keluar dengan larutan anti
septic dan biarkan mengering.
§
Pasang tourniquet 4-5 inchi di atas tempat
insersi.
§
Fiksasi vena, letakkan ibu jari di atas vena
untuk mencegah pergerakan dan untuk meregangkan kulit melawan arah penusukan.
§
Tusuk vena, pegang tabung bening kateter,
tempatkan posisi jarum dengan sudut 30-400. Tusukkan searah dengan
aliran vena menembus vena rasakan letupan dan lihat adanya aliran balik darah.
§
Rendahkan jarum sampai sejajar dengan kulit.
Dorong kateter ke dalam vena kira-kira ¼ - ½ inchi sebelum melepas jarum
penuntun dan dorong kateter.
§
Lepas tourniquet, tarik jarum penuntun.
§
Pasang ujung selang infuse.
§
Fiksasi kateter.
§
Atur kecepatan tetesan sesuai dengan program.
§
Pasang balutan steril.
§
Berikan label pada dressing (tanggal, jam,
ukuran kateter, initial nama pemasang).
§
Lepaskan sarung tangan, alat-alat dibersihkan.
e.
Tehnik memfiksasi / mempertahankan kepatenan dari alat
kepada bayi asfiksia yang terpasang infuse
Metode Chevron
§
Potong plester ukuran 1,25 cm, letakkan di bawah
hubungan kateter dengan bagian yang berperekat menghadap ke atas.
§
Silangkan kedua ujung plester melalui hubungan
kateter dan rekatkan pada kulit pasien.
§
Rekatkan plester ukuran 2,5 cm melintang diatas
sayap kateter dan sayap infuse untuk memperkuat kemudian berikan label.
f.
Memberikan cairan dengan menggunakan NGT
Adalah memasukkan cairan kedalam lambung bayi dengan menggunakan NGT.
Dengan tujuan memenuhi kebutuhan tubuh akan makanan dan cairan, yang dilakukan
pada bayi yang mengalami kesulitan mengisap dan bayi dengan kelainan bawaan
misalnya labiopalatoskisis atau atresia esophagus.
Persiapan:
Alat:
§
Susu atau cairan sesuai dengan kebutuhan
§
Corong
§
NGT apabila belum terpasang
§
Air matang pada tempatnya
§
Alas dada bayi
§
Spuit ukuran sesuai dengan kebutuhan
§
Plester
§
Kasa steril
§
Pada tempatnya
§
Gunting verban
§
Bengkok
Pasien:
1.
Pasang alas pada dada bayi.
2.
Bayi disiapkan dengan kepala lebih tinggi dari badan,
misalnya dengan menggunakan bantal.
3.
Bila pemberian cairan dilakukan melalui hidung maka
lubang hidung harus dibersihkan dahulu.
4.
Pipa diukur dari epigastrium sampai ke hidung kemudian
belok ke telinga, selanjutnya pipa diberi tanda.
5.
Ujung pipa dilicinkan dengan air atau pelican lainnya.
6.
Bagian pangkal pipa diklem atau dilipat, tutup dengan
jari dan ujung dimasukkan melalui hidung dengan hati-hati sampai batas yang
diberi tanda. Perhatikan keadaan umum bayi, apakah ada tanda-tanda sesak napas
atau tidak.
7.
Periksa apakah pipa betul-betul masuk ke dalam lambung,
caranya dengan mengisap cairan lambung
menggunakan sepuit. Kemudian pastikan bahwa betul-betul yang keluar cairan
lambung, caranya dengan menggunakan lakmus biru atau warna cairan.
8.
Corong atau spuit dipasang pada pangkal pipa.
9.
Tuangkan sedikit air matang, klem dibuka kemudian
cairan dimasukkan melalui corong, selama pemberian cairan corong ditutup dengan
kasa steril untuk mencegah kontaminasi.
10. Bila
cairan sudah hampir habis tuangkan sedikit air matang untuk membilas.
11. Bila
pipa dipasang secara menetap, pangkal pipa diklem atau dilipat dan diikat
setelah itu difiksasi pada dahi dengan plester.
g.
Komplikasi therapy cairan intravena
§
Infeksi
§
Emboli Udara
h.
Jumlah kebutuhan cairan pada bayi baru lahir
Kebutuhan Cairan Pada Neonatus
BERAT LAHIR
|
UMUR DALAM HARI
|
||
1_- 2
|
3 - 7
|
7 – 30
|
|
< 750
|
100- 250
|
150 - 300
|
120 – 180
|
750 -1000
|
80 - 150
|
100 - 150
|
120 – 180
|
1000 - 1500
|
60 - 100
|
80 -150
|
120 -180
|
!500 - 2500
|
60- 80
|
100 - 150
|
120 – 180
|
TERM
|
60 -80
|
100 - 150
|
120 - 180
|
i.
Macam cairan yang diperlukan untuk bayi baru lahir
MACAM CAIRAN
|
OSMOLARITAS
|
KARBOHIDRAT ( G/ l
)
|
KALORI
|
KEMASAN ( ML)
|
|
DEKTROSE
|
MALTOSE
|
||||
D5 %
|
278
|
50
|
|
200
|
250,500
|
D 10 %
|
506
|
100
|
|
400
|
500
|
MARTOS- 10 %
|
284
|
|
100
|
400
|
500
|
BAB
III
RESUME
A.
Studi Kasus
Bayi A jenis kelamin laki-laki umur 5 jam lahir
dengan vacuum ekstrasi atas indikasi pre eklampsia berat. Pada tanggal 04
Oktober 2004 jam 03.30 WIB dari seorang ibu G1P0A0. Kehamilan 38 minggu dengan
BB 2500 gram, panjang badan 48 cm, APGAR score 4-5-6.
Keadaan umum bayi setelah lahir tampak lemah menagis
kurang kuat, kulit kemerahan, kurang aktif, akral dingin, capillary refill 3
detik. Bayi A ditempatkan pada couve. Terpasang O2 60% head box,
terpasang infuse umbilical D10% 192/8/8 tetes per menit (mikro drip).
Keadaan bayi saat dikaji, kesadaran kurang aktif,
menangis kurang kuat, reflek menelan negative, suhu 370C, RR 40 kali
/ menit, HR 140x per menit, denyut nadi isi penuh tekanan kuat. Pasien
terpasang 02 head box 60 %.
Hasil pemeriksaan laborat meliputi Hb 15,1 gr/ dl, HT 46,5 %,
Leukosit: 12.800 ribu/ mmk,
Natrium: 135 mmol/ l, Kalium: 4,0 mmol/ l,
Chlorida: 111, Trombosit: 168.000. BGA: PH: 7,379, PCO2: 22,7 mmhg, Po2: 196 mmhg, HCO3 13,6 mmol/ L, BE: -9,2
mmol/ L, SaO2 : 99,7 %, AaDO2: 63,2 mmhg.
Dari pengkajian bayi A ditemukan 3 masalah keperawatan
yaitu: Resti gangguan volume cairan kurang dari kebutuhan, Resti komplikasi
hipotermi, Resti infeksi.
B.
Hasil diskusi dengan expert
1.
Expert 1 (Siti
Aminah, AMk., Perawat anak)
Pengertian
asfiksia adalah gangguan pernafasan yang terjadi pada bayi baru lahir, bayi
tidak dapat mendapatkan kebutuhan oksigen serta mengeluarkan CO2.
Penyebab
dari asfeksia adalah persalinan tindakan dimana ibu menderita pre eklamsi
ataupun persalinan macet dan anak mengalami fetal distress, DTA (Deep Tranverse
Arrest), sutura sagitalis menempati ruang panggul yang sempit dimana kepala
bayi tidak dapat melakukan putaran paksi dalam, ibu kelelahan oleh karena ibu
sudah kehabisan tenaga sehingga ibu tidak mampu mengejan akhirnya dilakukan
vacuum ekstraksi yang beresiko terjadinya asfiksia.
Tanda
dan gejala dari asfiksia anak tidak menangis kuat / tangisannya merintih, anak
terlihat sianosis, pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung. Penentuan kriteria
asfiksia ringan, sedang, dan berat dapat digunakan penilaian APGAR score.
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dengan pemerikasaan BGA, darah rutin,
urin rutin.
Penatalaksanaan
bayi dengan asfiksia adalah dengan memberikan oksigen sesuai dengan kebutuhan.
Biasanya 24 jam pertama dengan menggunakan O2 head box dengan
konsentrasi 60%. Kemudian diperhatikan pula pengaturan suhu tetap stabil agar
tidak terjadi hipotermia, monitor tanda vital terutama pernafasan, penundaan
pemberian minum pada anak oleh karena fungsi pencernaan masih terganggu,
kebutuhan cairan dipenuhi dengan infuse D 10%. Anak ditunda minum sampai ada
reflek menghisap, atau kurang lebih 24 jam. Menurut expert 1 meskipun pasien
dipuasakan/ tunda minum, namun tidak akan kekurangan cairan oleh karena sudah
mendapat cairan sesuai program. Dan pemberian cairan bertujuan untuk memberikan
nutrisi, mempertahankan keseimbangan cairan dan memberikan obat-obatan. Sedang
keuntungan dari therapy cairan adalah absorbsi obat lebih cepat.
2.
Expert II (dr.
Sulistyo, residen anak)
Bayi
A mengalami asfiksia sedang. Dari hasil pemeriksaan terakhir sudah ada
perbaikan kondisi, akan tetapi bayi A masih harus dirawat di ruang PBRT untuk
diobservasi keadaannya, karena bayi sewaktu-waktu dapat berubah. Adapun
perawatannya setelah bayi tidak sesak nafas tidak perlu diberikan head box
oksigen cukup diberikan nasal 28%. Selain itu perlu menjaga kehangatan bayi
masih dalam kondisi adaptasi sehingga pusat termoregulasi belum berkembang
sepenuhnya. Yang terpenting perawatan bayi baru lahir adalah kepekaan perawat
terhadap tangisan bayi, karena tangisan bayi dapat disebabkan oleh
bermacam-macam. Untuk pemberian ASI sudah bisa diberikan karena reflek
menghisap sudah ada, tetapi harus memperhatikan kondisi pasien juga, setiap mau
memasukkan sonde harus dicek residu terlebih dahulu, sehingga cairan yang masuk
sesuai dengan toleransi pencernaan. Untuk pemberian cairan pada hqri ke 90 ml
per kg BB per 24 jam, ini sudah termasuk sonde dan infuse. Kalau hari pertama
nutrisi enteral tunda dulu. Pemberian cairan lewat vena ini kerugiannya terjadi
flebitis. Adapun jenis cairan yang digunakan untuk neonatus berdasarkan protap yang ada adalah D10 %,
oleh karena cairan ini masuk jenis isotonik dan kalorinya besar, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan neonatus.
3.
Expert III (dr.
Wisnu, residen anak)
Pemeriksaan
yang dilakukan pada anak asfiksia adalah analisa gas darah untuk mengetahui
konsentrasi oksigen dalam darah dan sejauhmana kebutuhan oksigen diperlukan.
Dilakukan pemeriksaan darah rutin dan jika anak diare dilakukan pemerikasaan
feses dan urin. Apabila terjadi asidosis perlu dilakukan koreksi untuk menjaga
agar sirkualsi darah tetap baik, memberikan lingkungan yang baik sangat
diperlukan, menjaga saluran nafas tetap bebas, serta merangsang timbulnya
pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 lancar, dengan memberikan
bantuan pernafasan secara aktif apabila bayi menunjukkan pernafasan yang lemah.
Program cairan yang diberikan adalah dekstrose 10% oleh karena cairan ini
banyak mengandung kalori sehingga sangat dibutuhkan oleh bayi. Sedangkan
program tetesan yang diberikan adalah mikro drip (1 cc = 60 tetes). Disamping
itu penetalaksanaan yang tidak kalah penting yaitu pencegahan terjadinya
infeksi oleh karena bayi masih sangat rentan / daya imunnya masih rendah, untuk
itu tindakan invasif sangat diminimalkan, misalkan dalam pengambilan darah
tidak perlu mengambil dari vena yang lain cukup mengambil dari vena umbilikalis
yang telah dipasang infuse. Disamping hal tersebut di atas setelah bayi bisa
menetek perlu diberikan pengawasan yang ketat baik kepada bayi maupun ibu
jangan sampai terjadi aspirasi. Hal ini juga perlu disampaikan apabila pasien
sudah diijinkan pulang sehingga setelah di rumah ibu dapat merawat bayi dengan
baik.
C.
Permasalahan
1.
Apakah tujuan dan kapan waktu pemberian cairan
2.
Apakah peran perawat terhadap terapi cairan?
3.
Bagaimana tehnik memfiksasi/ mempertahankan kepatenan
IV kateter pada bayi lahir dengan asfiksia?
4.
Bagaimana cara memberikan cairan lewat NGT?
5.
Berapa jumlah kebutuhan cairan untuk bayi baru lahir
dengan asfiksia?
BAB
IV
PEMBAHASAN
A.
Tujuan dan
waktu pemberian cairan
PT Otsuka Indonesia
(2003) menyebutkan bahwa tujuan pemberian therapy cairan yaitu mempertahankan
keseimbangan cairan, memberikan obat- obatan dan memberikan nutrisi. Pada bayi
ny A oleh karena terjadi asfiksia, hari pertama reflek menelan masih negative
sehingga ditunda untuk diet enteral. Selain itu ditakutkan kerja pernafasan
bayi A meningkat. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan cairan bayi A diberikan
infuse D10 %. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan, dan untuk
memasukkan obat, oleh karena pasien mendapat obat Amoxicilin 2x 125 mg dan vit
K 1x1mg intravena.
Hanya saja pemberian
cairan D 10% diberikan setelah bayi dipuasakan selama 24 jam. Hal ini tidak
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pemberian cairan seharusnya diberikan
sesegera mungkin setelah gastrointestinal bayi berfungsi dengan baik. Penundaan
pemberian cairan tersebut memberikan dampak negative pada bayi berupa asidosis
metabolik. Masalah lain yang ditemukan adalah pemantauan fungsi pencernaan bayi
yang tidak dilakukan secara kontinu sehingga menjadikan penundaan diit enteral
berlangsung lebih lama. Kondisi demikian memungkinkan kurang adekuatnya
kebutuhan cairan / diit enteral bayi. Oleh sebab itu penulis mengadakan diskusi
kepada expert dalam hal ini residen anak, apakh keuntungan yang diperoleh
sebanding dengan kerugiannya apabila anak dipuasakan, sementara kita perhatikan
bersama bahwa kenyataannya pasien jatuh dalam kondisi asidosis, walupun sudah
terkompensasi. Hal ini perlu dihindarkan demi keselamatan pasien. Dokter
mengatakan betul sekali apa yang di utarakan, namun kenyataanya kita sebagai
dokter, masih sangat sulit untuk mendapatkan kemitraan dengan keperawatan,
karena sebagian besar perawat disini pengetahuan tentang cairan sangat kurang.
B.
Peran perawat
dalam dalam pemberian terapi cairan
Salah
satu peran perawat yang dibutuhkan dalam pengelolaan bayi dengan asfiksia
adalah peran sebagai pelaksana asuhan akeperawatan secara optimal (health providers). Peran ini
memungkinkan perawat melakukan kegiatan pengkajian dan perencanaan secara
matang mengenai masalah dan hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien asfiksia,
misalnya tentang kebutuhan cairan yang tepat dan adekuat untuk bayi yang
mengalami gangguan berupa asfiksia.
Namun kenyataannya perawat
tidak memahami secara substansial tentang jumlah cairan yang dibutuhkan oleh
bayi asfiksia. Kebanyakan perawat beranggapan bahwa masalah kebutuhan cairan
adalah tanggungjawab sepenuhnya oleh pihak medis / dokter, dan mereka
beranggapan bahwa perawat hanya bertanggungjawab dalam cara pemberian cairan.
Kondisi ini menyebabkan perawat tidak segera mengetahui bila terjadi kekurangan
cairan pada bayi atau kondisi lain yang berhubungan dengan masalah kebutuhan
cairan, yang diperparah dengan adanya ketidakmampuan perawat dalam membaca
hasil laboratorium yang terkait dengan analisis gas darah. Akibatnya perawat
tidak mengetahui kalau bayi yang sedang dikelolanya mengalami asidosis
metabolik terkompensasi penuh.
C.
Tehnik
memfiksasi/ mempertahankan kepatenan IV kateterpada bayi baru lahir dengan
asfiksia
Berbagai macam cara
memfiksasi/ mempertahankan IV kateter diantaranya: metode Chevron, metode U,
metode H. Ini semua dilakukan untuk memudahkan dan mengefektifkan dalam
perawatan IV kateter. Perawatan IV kateter dilakukan setiap hari sekali yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yaitu infeksi/ phlebitis. Namun
tehnik tersebut hanya dilakukan untuk pemasangan infuse dibagian distal. Pada
an A infuse dipasang di umbilikel sehingga tehnik dalam memfiksasinyapun
berbeda dengan cara diaatas, sampai laporan ini dibuat penulis belum
mendapatkan sumber tentang cara fiksasi IV kateter yang terpasang di umbilikel.
Sehingga penulis lebih mengacu kepada prosedur tetap yang ada di ruangan, yaitu
setiap hari IV kateter pada umbilikel di balut dengan kasa betadi dengan tehnik
steril, serta cara memasang plester melingkar pada daerah umbilikel kemudian di
tempelkan pada abdomen. (plester dipotong 10-12 cm, lalu bagian tengah plester
dililitkan pada IV kateter yang telah terbungkus kasa betadin, sedangkan ujung-
ujungnya dilekatkan pada kanan kiri abdomena). Namun kenyataan pada pengamatan
sekitar satu minggu meskipun IV dipasang pada vena besar/ umbilikel jarang
terjadi infeksi oleh karena perawatan setiap hari dilakukan, dan pencegahan
infeksi cukup baik, terbukti tersedianya wastavel alat cuci tangan alternative
disetiap ruangan di PBRT.
D.
Pemberian
cairan dengan NGT
Pemberian cairan dengan NGT ini ada dua
tehnik yaitu : yang pertama NGT dipasang tidak menetap/ setelah cairan sonde
masuk kemudian NGT lalu dicabut ini dilakukan apabila tidak diperlukan terus
menerus, tetapi apabila dibutuhkan cairan susu/ sonde yang terus menerus NGT
dipasang menetap namun harus diganti setelah 5 hari, hal ini untuk mencegah
infeksi dan perubahan posisi NGT, hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan
oleh expert 1 dari keperawatan. Prinsip pemberian susu/ cairan lewat NGT adalah
, posisi kepala lebih tinggi dan mencegah adanya udara masuk saluran pencernaan,
oleh karena hal ini dapat mengakibatkan distensi pada abdomen dan akan
menganggu fungsi gastro intestinal. Sehingga setelah diberikan sonde perlu
dilakukan sendawa untuk mencegah adanya udara masuk ke saluran intestinal,
walupun pada saat memberikan sonde sudah diminimalkan adanya udara yang masuk.
Pada studi kasus apabila sonde diberikan oleh perawat ruangan setelah
memberikan sonde tidak dilakukan sendawa, Tetapi penulis memberikan contoh
dengan cara setelah memberikan sonde dilakukan sendawa. Namun hal ini
sepertinya tidak ada yang merespon dari perawat ruangan, Sehingga penulis
mengadakn diskusi kepada salah satu perawat ruangan tentang perlunya dilakukan
sendawa setelah memberikan sonde dan perawat mengatakan bahwa hal ini tidak
diketahui oleh perawat ruangan. Meskipun pasien mendapat sonde, namun oleh
karena reflek menelan pada hari kedua mulai ada, maka sebelum diberikan sonde
ditetekkan dulu keibunya, kemudian kalu kurang baru diberi sonde.
E.
Jumlah cairan
yang diberikan pada bayi asfiksia
Jumlah pemberian cairan
pada bayi dengan asfiksia didasarkan pada BB yaitu BB antara 1500 – 2500 gram
pada hari pertama – hari kedua diberikan cairan sebanyak 60 – 80 cc per Kg BB
per 24 jam. Pada hari ketiga – hari ke tujuh diberikan cairan sebanyak 100 -150
cc per Kg BB per 24 jam.
Pada kenyataannya
pemberian cairan didasarkan atas aspek kemudahan yaitu pada hari pertama
diberikan cairan sebanyak 192 cc / 24 jam yang seharusnya berdasarkan formulasi
cairan yang diberikan adalah sebesar 200 cc.
Aspek kemudahan yang dimaksudkan adalah 192 cc habis dibagi 24 jam yaitu
sebesar 8 tetes / menit atau 8 cc / jam. Dengan perhitungan ini
menyebabkan cairan yang diberikan tidak
memenuhi jumlah cairan sesuai dengan penghitungan yang berlaku, sehingga bayi
masih kekurangan cairan sebanyak 8 cc dalam 24 jam. Jumlah cairan ini sangat
berarti bagi bayi terutama pada hari pertama kehidupannya. Dampak tidak
adekuatnya pemberian cairan tersebut memungkinkan terjadinya gangguan perfusi
yang mana perfusi ini akan mempengaruhi oksigenasi, termasuk oksigenasi ke jaringan
ginjal, akibatnya menyebabkan asidosis metabolik, namun By A masih bisa mengkompensasi hal itu sehingga
kompensasi dari ginjal adalah tidak mengeluarkan cairan secara optimal sehingga
menyebabkan retensi HC03. Yang mana keadaan ini menunjukkan asidosis
metabolic terkompensasi penuh, sehingga pasien tidak perlu diberi tindakan a
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Asfiksia adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir
mengalami gangguan pertukaran O2 dan Co2 yang dapat disebabkan oleh faktor ibu,
janin, plasenta, dan faktor persalinan.
2.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien asfiksia adalah: pengawasan
suhu, Pembersihan jalan nafas dan rangsangan untuk menimbulkan pernafasan,
serta pemberian cairan yang adekuat.
3.
Tujuan pemberian cairan pada bayi asfiksia adalah
untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
nutrisi.
4.
Permasalahan yang dijumpai pada saat pengelolaan bayi
dengan asfiksia adalah pada tujuan pemberian cairan, jumlah cairan yang harus
diberikan, dan peran perawat dalam pengelolaan bayi dengan asfiksia.
5.
Tujuan pemberian cairan adalah untuk pemenuhan cairan
dan nutrisi bayi, namun waktu pemberiannya adalah setelah bayi dipuasakan
selama 24 jam. Jumlah cairan yang diberikan tidak sesuai dengan teori karena
terjadi pengurangan sebesar 8cc dalam 24 jam. Peran perawat lebih banyak pada
cara pemberian cairan bukan pada berapa cairan yang dibutuhkan bayi.
B.
Saran
1.
Seharusnya cairan yang diberikan pada bayi asfiksia
tidak ditunda hingga 24 jam, namun perlu diberikan sesegera mungkin terutama
setelah diketahui system gastrointestinal berfungsi dengan baik.
2.
Seharusnya kebutuhan cairan pada bayi tidak didasarkan
pada kemudahan membaginya untuk keperluan selama 24 jam, namun lebih pada
berapa cc yang seharusnya bayi (dengan asfiksia) butuhkan. Hal ini dapat
dilakukan dengan berpedoman pada formula yang telah ada.
3.
Perlu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat
mengenai pemberian cairan bagi bayi asfiksia sehingga keputusan yang diambil
tidak didasarkan pada bagaimana cara cairan diberikan, namun juga harus
diketahui mengenai berapa banyak kebutuhan cairan bagi bayi asfiksia.
DAFTAR PUSTAKA
1. A.H
Markum, (2002). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta :
FKUI.
2.
Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1997). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
ke-2. Bandung .
3.
Berhman, Kliegman & Arvin, (1996), Ilmu Kesehatan
Anak Nelson, Alih Bahasa Samik Wahab. Jilid I, Jakarta : EGC.
4. http: // www.pediatrik.com/kanal.Php?pg=karyailmiah&id=03.
5. http
: //www.Suaramerdeka.Com/harian/0308/11/ragam5.htm.
6. Mochtar, Rustam, (1998), Sinopsis Obstetri:
Obstetri Patologi, Edisi 2, Jakarta :
EGC.
7.
Persis Mary Halminton, (1999), Dasar- dasar Keperawatan
Maternitas Edisi 2, Jakarta :
EGC
8. Staf
Pengajar IKA FKUI, (1995), Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3, Jakarta : IKA FKUI.
9.
Purnawan, J dkk, (1998) Kapita Selekta Kedokteran,
Edisi2, Jakarta :
Media Aeusculapius FKUI.
10. PT Otsuka Indonesia . (2003).
Pemberian Cairan Infus. Edisi revisi
VIII.
11. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Ilmu Kebidanan, Jakarta : JNPKKR-POGI
12. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta : JNPKKR- POGI
13. Arif Ridwan
& Iman Fathurrohman W. (1998). Referensi
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Bandung .
No comments:
Post a Comment