Thursday, January 15, 2015

ASFEKSIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.         Latar belakang
Dalam dua dekade terakhir ini, kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran telah banyak berperan dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan neonatal. Demikian pula kejadian asfiksia neonatus mengalami perubahan dalam pengelolaan secara nyata. Walaupun demikian perubahan ini tampaknya belum dapat memecahkan masalah asfiksia secara tuntas, karena masih sangat berpengaruh terhadap kualitas bayi dikemudian hari, karena itu perlu pemantauan jangka panjang baik dari segi fisik / neurologik, maupun segi kongnitif yang tinggi, termasuk kebutuhan oksigen oleh bayi.
          Pada saat bayi dalam kandungan kebutuhan oksigen dipenuhi dari ibu melaluai sirkulasi darah dari plasenta, namun begitu bayi lahir bayi harus dapat menghasilkan sendiri oksigen melalui pernafasan. Pernafasan pertama sangat menentukan karena oksigen sangat dibutuhkan oleh organ vital seperti otak, jantung, paru dan ginjal, sehingga bayi dapat melangsungkan kehidupannya. Apabila bayi tidak menangis pada saat lahir disebut asfiksia, dan ini berarti bayi gagal bernafas secara spontan.
          Asfiksia adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transpor O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2. Keadaan ini disertai dengan asidosis, hiperkapnia dan hipoksia. Nilai APGAR yang rendah sebagai manifestasi pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi. Hipoksia yang terdapat pada neonatus asfiksia merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ektra uterin, disamping itu juga didapatkan  bahwa sindroma gangguan nafas, infeksi dan kejang merupakan keadaan yang sering terjadi pada neonatus dengan asfiksia. Berdasarkan penelitian dan pengalaman klinis menunjukkan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi baru lahir adalah asfiksia.
          Angka kematian tertinggi terjadi selama 24 jam pertama masa kehidupan neonatus, pada masa ini terjadi sekitar 40 % dari seluruh kematian dibawah usia satu tahun. Dalam dua dekade terakir ini, angka kesakitan dan kematian pada neonatus mulai menurun, perubahan tersebut tampak pada asfiksia neonatorum. Meskipun demikian perubahan ini nampaknya belum dapat memecahkan permasalahan asfiksia, karena asfiksia ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembamgan di kemudian hari. Sehingga di sini diperlukan pemantauan jangka panjang dengan menstimulasi mental secara dini dan memeriksanya dengan DDST.
          Apabila penanganan asfiksia tidak efektif atau tidak sempurna maka akibatnya akan lebih buruk dan kemungkinan timbul sekuele. Tindakan yang ditujukan / diberikan kepada neonatus bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mencegah gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. Untuk itu diagnosis dini dan antisipasi penderita asfiksia mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaannya, sehingga bayi mendapatkan penatalaksanaan dan perawatan yang betul, cepat dan adekuat.
          Untuk mencegah / menurunkan kejadian asfiksia, petugas kesehatan sangatlah penting peranannya, yaitu bertanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan kepada para ibu-ibu yang sedang mengandung untuk selalu menjaga kehamilannya dan diajarkan cara untuk mendeteksi secara dini kelainan-kelainan yang ada, sehingga apabila terdapat masalah dapat cepat diatasi. Oleh karena pentingnya pengelolaan terhadap asfiksia sehingga penulis perlu memahami bagaimana penatalaksanaan pasien dengan asfiksia
          Kebutuhan nutrisi bayi hanya berasal dari cairan. Mengingat 60 % tubuh terdiri dari cairan, sehingga apabila terjadi ketidak seimbangan pada cairan maka akibatnya akan menganggu perfusi jaringan. Begitu pentingnya cairan tubuh pada bayi maka memerlukan pemantauan yang intensif terhadap cairan tubuh, Berdasarkan uraian diatas maka penulis merasa perlu untuk mempelajari jauh tentang cairan pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia.




B.         Tujuan
1.Tujuan umum
Setelah menyelesaikan kontrak belajar, mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Asfiksia

2.Tujuan khusus
Setelah menyelesaikan kontrak belajar ini
§  Saya mampu menjelaskan tujuan pemberian cairan untuk bayi baru lahir dengan asfiksia.
§  Saya mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian therapy cairan untuk pasien asfiksia
§  Saya mampu menjelaskan peran perawat terhadap therapy cairan pada bayi dengan Asfiksia.
§  Saya mampu menjelaskan teknik pemasangan infuse.
§  Saya mampu melakukan fiksasi/mempertahankan kepatenan IV kateter kepada bayi asfiksia.
§  Saya mampu memberikan cairan dengan menggunakan NGT.
§  Saya mampu menjelaskan komplikasi therapy cairan intra vena
§  Saya mampu menghitung jumlah kebutuhan cairan untuk bayi asfiksia
§  Saya mampu memberikan macam cairan yang diperlukan untuk bayi baru lahir.



BAB II
TINJAUAN TEORI


A.         Pengertian
Menurut Hanifa Wiknjosastro (2002) asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia Neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2  (A.H Markum, 2002).

B.         Etiologi
Etiologi secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.
1.      Faktor ibu
§  Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida, tekanan darah ibu yang rendah.
§  Penyakit pembuluh darah yang menganggu aliran darah uterus, kompresi vena kava dan aorta saat hamil, gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan, hipertensi pada penyakit eklampsia.
§  Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
§  Gravida empat atau lebih
§  Sosial ekonomi rendah
2.      Faktor plasenta
§  Plasenta tipis
§  Plasenta kecil
§  Plasenta tak menempel
§  Solusio plasenta
§  Perdarahan plasenta
3.      Faktor janin / neonatus
§  Kompresi umbilikus
§  Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
§  Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
§  Prematur
§  Gemeli
§  Kelainan congenital
§  Pemakaian obat anestesi
§  Trauma yang terjadi akibat persalinan
4.      Faktor persalinan
§  Partus lama
§  Partus tindakan

C.         Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan / persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnoe, disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan menunjukkan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada dalam periode apnoe yang kedua., dan ditemukan pula bradikardia dan penurunan tekanan darah.
Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam dan basa pada neonatus. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen  yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi  jantung. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.

D.         PATHWAYS

E.          Manifestasi klinik
1.      Pernafasan cuping hidung
2.      Pernafasan cepat
3.      Tidak bernafas
4.      Nadi cepat
5.      Cyanosis
6.      Nilai APGAR kurang dari 6

Untuk menilai tingkat asfiksia: asfiksia berat, sedang atau ringan bahkan normal dapat dipakai penilaian dengan APGAR score sebagaimana tertera pada table berikut.

Tabel untuk menentukan tingkat/ derajat asfiksia yang dialami bayi

TANDA
0
1
2
Warna Kulit
Pucat kebiruan
Tubuh kemerahan ektremitas biru
Seluruh tubuh kemerahan
Denyut Nadi
Tidak teraba
Kurang dari 100
Lebih dari 100
Refleks
Tidak ada
Gerakan sedikit
Menangis
Tonus Otot
Tidak ada gerakan
Gerakan  fleksi pada ektremitas
Bergerak aktif

Pernafasan
Tidak ada
Lambat tidak teratur
Menangis kuat/ keras

Klasifikasi klinik nilai APGAR:

1.      Asfiksia berat ( nilai APGAR 0-3)
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali. Karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus bikarbonat 7,5% dengan dosis 2,4 ml per kg berat badan, dan cairan glucose 40%1-2 ml/kg berat badan, diberikan via vena umbilikalis.

2.      Asfeksia sedang (nilai APGAR 4-6).
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas kembali.

3.      Bayi normal atau asfiksia ringan ( nilai APGAR 7-9).

4.      Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Asfiksia berat dengan henti jantung, dengan keadaan bunyi jantung menghilang setelah lahir, pemeriksaan fisik yang lain sama dengan asfiksia berat.

F.          Pemeriksaan Diagnostik
1.      Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 )
2.      Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek)
3.      Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4.      Pengkajian spesifik

Gradasi Hipoksi Iskemia Ensepalopati pada bayi

Tanda klinis
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3

Tingkat kesadaran
Iritabel
Letargi
Stupor, koma
Tonus otot
Normal
Hipotonus
Flaksit
Postur
Normal
Fleksi
Deserebrasi
Reflek tendon / klonus
Hiperaktif
Hiperaktif
Tidak ada

Reflek Moro
Kuat
Lemah
Tidak ada
Pupil
Medriasis
Miosis
Tidak bereflek cahaya
Kejang
Tidak ada
Sering terjadi
Deserebrasi
EEG
Normal
Voltase rendah, berubah dengan kejang
Isoelektrik


Durasi
<24 jam
24jam - 14 hari
Beberapa minggu
Hasil akhir
Baik
Bervariasi
Kematian berat


G.         Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari.Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa:
1.      Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, pertumbuhan homeostasis yang timbul makin berat. Resusitasi akan semakin sulit dan kemungkinan timbulnya sekuele akan meningkat
2.      Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/ hipoksia antenatal tidak dapat diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia paska natal harus dicegah dan diatasi.
3.      Riwayat kehamilan dan persalinan akan memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir
4.      Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan ditentukan secara  cepat dan tepat.

Prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat adalah:
1.      Membersihkan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar.
2.      Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha pernafasan lemah.
3.      Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi
4.      Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.


Tindakan Umum:
1.      Pengawasan suhu tubuh
Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan, karena hal ini akan memperburuk keadaan asfiksia.Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh akan mempertinggi metabolisme sel sehingga kebutuhabn oksigen meningkat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang hangat segera setelah lahir. Jangan biarkan bayi kedinginan (membungkus bayi dengan kain kering dan hangat), Badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin, gunakan minyak atau           baby oil untuk membersihkan tubuh bayi. Kepala ditutup dengan kain atau topi kepala yang terbuat dari plastik

2.      Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion dengan pengisap lendir, tindakan ini dilakukan dengan hati- hati tidak perlu tergesa- gesa atau kasar. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul penyulit seperti: spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan nafas. Pada asfiksia berat dilakukan resusitasi kardiopulmonal.

3.      Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Bayi yang tidak memperlihatkan usaha bernafas selama 20 detik setelah lahir dianggap telah menderita depresi pernafasan. Dalam hal ini rangsangan terhadap bayi harus segera dilakukan. Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa hidung dapat pula merangsang reflek pernafasan yang sensitive dalam mukosa hidung dan faring. Bila cara ini tidak berhasil dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dengan memukul kedua telapak kaki bayi.



4.      Therapi cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksi
a.       Tujuan Pemberian Cairan untuk Bayi Baru Lahir dengan asfiksia
1.            Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan
2.            Memberikan obat- obatan
3.            Memberikan nutrisi parenteral
b.      Keuntungan dan kerugian therapy Cairan
            Keuntungan :
1.      Efek therapy segera tercapai karena penghantaran obat ketempat target berlangsung cepat
2.      Absorbsi total, memungkinkan dosis obat lebih tepat dan therapy lebih dapat diandalkan.
3.      Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek therapy dapat dipertahankan maupun dimodifikasi.
4.      Ras sakit dan iritasi obat- obat tertentu jika diberikan intramuscular dan subkutan dapat dihindari.
5.      Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorpsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinal.

           Kerugian :
1.      Resiko toksisitas/anapilaktik dan sensitivitas tinggi
2.      Komplikasi tambahan dapat timbul :
§  Kontaminasi mikroba melalui sirkulasi
§  Iritasi vaskuler ( spt phlebitis )
§  Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

c.       Peran Perawat terhadap Therapi Cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia
1.      Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infuse maupun kemasannya.
2.      Memastikan cairan infuse diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian)
3.      Memeriksa kepatenan tempat insersi
4.      Monitor daerah insersi terhadap kelainan
5.      Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan program
6.      Monitor kondisi dan reaksi pasien

d.      Teknik pemasangan infuse
§  Siapkan alat-alat
§  Cuci tangan lalu gunakan sarung tangan tangan
§  Pilih vena yang terbaik, jika perlu bersihkan area insersi dengan gerakan melingkar dari pusat keluar dengan larutan anti septic dan biarkan mengering.
§  Pasang tourniquet 4-5 inchi di atas tempat insersi.
§  Fiksasi vena, letakkan ibu jari di atas vena untuk mencegah pergerakan dan untuk meregangkan kulit melawan arah penusukan.
§  Tusuk vena, pegang tabung bening kateter, tempatkan posisi jarum dengan sudut 30-400. Tusukkan searah dengan aliran vena menembus vena rasakan letupan dan lihat adanya aliran balik darah.
§  Rendahkan jarum sampai sejajar dengan kulit. Dorong kateter ke dalam vena kira-kira ¼ - ½ inchi sebelum melepas jarum penuntun dan dorong kateter.
§  Lepas tourniquet, tarik jarum penuntun.
§  Pasang ujung selang infuse.
§  Fiksasi kateter.
§  Atur kecepatan tetesan sesuai dengan program.
§  Pasang balutan steril.
§  Berikan label pada dressing (tanggal, jam, ukuran kateter, initial nama pemasang).
§  Lepaskan sarung tangan, alat-alat dibersihkan.

e.       Tehnik memfiksasi / mempertahankan kepatenan dari alat kepada bayi asfiksia yang terpasang infuse
Metode Chevron
§  Potong plester ukuran 1,25 cm, letakkan di bawah hubungan kateter dengan bagian yang berperekat menghadap ke atas.
§  Silangkan kedua ujung plester melalui hubungan kateter dan rekatkan pada kulit pasien.
§  Rekatkan plester ukuran 2,5 cm melintang diatas sayap kateter dan sayap infuse untuk memperkuat kemudian berikan label.

f.       Memberikan cairan dengan menggunakan NGT
Adalah memasukkan cairan kedalam lambung bayi dengan menggunakan NGT. Dengan tujuan memenuhi kebutuhan tubuh akan makanan dan cairan, yang dilakukan pada bayi yang mengalami kesulitan mengisap dan bayi dengan kelainan bawaan misalnya labiopalatoskisis atau atresia esophagus.

Persiapan:
           Alat:
§  Susu atau cairan sesuai dengan kebutuhan
§  Corong
§  NGT apabila belum terpasang
§  Air matang pada tempatnya
§  Alas dada bayi
§  Spuit ukuran sesuai dengan kebutuhan
§  Plester
§  Kasa steril
§  Pada tempatnya
§  Gunting verban
§  Bengkok

           Pasien:
1.      Pasang alas pada dada bayi.
2.      Bayi disiapkan dengan kepala lebih tinggi dari badan, misalnya dengan menggunakan bantal.
3.      Bila pemberian cairan dilakukan melalui hidung maka lubang hidung harus dibersihkan dahulu.
4.      Pipa diukur dari epigastrium sampai ke hidung kemudian belok ke telinga, selanjutnya pipa diberi tanda.
5.      Ujung pipa dilicinkan dengan air atau pelican lainnya.
6.      Bagian pangkal pipa diklem atau dilipat, tutup dengan jari dan ujung dimasukkan melalui hidung dengan hati-hati sampai batas yang diberi tanda. Perhatikan keadaan umum bayi, apakah ada tanda-tanda sesak napas atau tidak.
7.      Periksa apakah pipa betul-betul masuk ke dalam lambung, caranya dengan  mengisap cairan lambung menggunakan sepuit. Kemudian pastikan bahwa betul-betul yang keluar cairan lambung, caranya dengan menggunakan lakmus biru atau warna cairan.
8.      Corong atau spuit dipasang pada pangkal pipa.
9.      Tuangkan sedikit air matang, klem dibuka kemudian cairan dimasukkan melalui corong, selama pemberian cairan corong ditutup dengan kasa steril untuk mencegah kontaminasi.
10.  Bila cairan sudah hampir habis tuangkan sedikit air matang untuk membilas.
11.  Bila pipa dipasang secara menetap, pangkal pipa diklem atau dilipat dan diikat setelah itu difiksasi pada dahi dengan plester.

g.      Komplikasi therapy cairan intravena
§  Infeksi
§  Emboli Udara



h.      Jumlah kebutuhan cairan pada bayi baru lahir

Kebutuhan Cairan Pada Neonatus

BERAT LAHIR
UMUR DALAM HARI
1_- 2
3 - 7
7 – 30
< 750
100- 250
150 - 300
120 – 180
750 -1000
80 - 150
100 - 150
120 – 180
1000 - 1500
60 - 100
80 -150
120 -180
!500 - 2500
60- 80
100 - 150
120 – 180
TERM
60 -80
100 - 150
120 - 180


i.        Macam cairan yang diperlukan untuk bayi baru lahir

MACAM CAIRAN
OSMOLARITAS
KARBOHIDRAT ( G/ l )
KALORI
KEMASAN ( ML)
DEKTROSE
MALTOSE
D5 %
278
50

200
250,500
D 10 %
506
100

400
500
MARTOS- 10 %
284

100
400
500



BAB III
RESUME


A.         Studi Kasus
Bayi A jenis kelamin laki-laki umur 5 jam lahir dengan vacuum ekstrasi atas indikasi pre eklampsia berat. Pada tanggal 04 Oktober 2004 jam 03.30 WIB dari seorang ibu G1P0A0. Kehamilan 38 minggu dengan BB 2500 gram, panjang badan 48 cm, APGAR score 4-5-6.
Keadaan umum bayi setelah lahir tampak lemah menagis kurang kuat, kulit kemerahan, kurang aktif, akral dingin, capillary refill 3 detik. Bayi A ditempatkan pada couve. Terpasang O2 60% head box, terpasang infuse umbilical D10% 192/8/8 tetes per menit (mikro drip).
Keadaan bayi saat dikaji, kesadaran kurang aktif, menangis kurang kuat, reflek menelan negative, suhu 370C, RR 40 kali / menit, HR 140x per menit, denyut nadi isi penuh tekanan kuat. Pasien terpasang 02 head box 60 %.
Hasil pemeriksaan laborat meliputi  Hb 15,1 gr/ dl, HT  46,5 %,         Leukosit: 12.800 ribu/ mmk, Natrium: 135 mmol/ l, Kalium: 4,0 mmol/ l,  Chlorida: 111, Trombosit: 168.000. BGA: PH: 7,379, PCO2: 22,7 mmhg,             Po2: 196 mmhg, HCO3 13,6 mmol/ L, BE: -9,2 mmol/ L, SaO2 : 99,7 %, AaDO2: 63,2 mmhg.
Dari pengkajian bayi A ditemukan 3 masalah keperawatan yaitu: Resti gangguan volume cairan kurang dari kebutuhan, Resti komplikasi hipotermi, Resti infeksi.

B.         Hasil diskusi dengan expert
1.      Expert 1 (Siti Aminah, AMk., Perawat anak)
         Pengertian asfiksia adalah gangguan pernafasan yang terjadi pada bayi baru lahir, bayi tidak dapat mendapatkan kebutuhan oksigen serta mengeluarkan CO2.
         Penyebab dari asfeksia adalah persalinan tindakan dimana ibu menderita pre eklamsi ataupun persalinan macet dan anak mengalami fetal distress, DTA (Deep Tranverse Arrest), sutura sagitalis menempati ruang panggul yang sempit dimana kepala bayi tidak dapat melakukan putaran paksi dalam, ibu kelelahan oleh karena ibu sudah kehabisan tenaga sehingga ibu tidak mampu mengejan akhirnya dilakukan vacuum ekstraksi yang beresiko terjadinya asfiksia.
         Tanda dan gejala dari asfiksia anak tidak menangis kuat / tangisannya merintih, anak terlihat sianosis, pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung. Penentuan kriteria asfiksia ringan, sedang, dan berat dapat digunakan penilaian APGAR score. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dengan pemerikasaan BGA, darah rutin, urin rutin.
         Penatalaksanaan bayi dengan asfiksia adalah dengan memberikan oksigen sesuai dengan kebutuhan. Biasanya 24 jam pertama dengan menggunakan O2 head box dengan konsentrasi 60%. Kemudian diperhatikan pula pengaturan suhu tetap stabil agar tidak terjadi hipotermia, monitor tanda vital terutama pernafasan, penundaan pemberian minum pada anak oleh karena fungsi pencernaan masih terganggu, kebutuhan cairan dipenuhi dengan infuse D 10%. Anak ditunda minum sampai ada reflek menghisap, atau kurang lebih 24 jam. Menurut expert 1 meskipun pasien dipuasakan/ tunda minum, namun tidak akan kekurangan cairan oleh karena sudah mendapat cairan sesuai program. Dan pemberian cairan bertujuan untuk memberikan nutrisi, mempertahankan keseimbangan cairan dan memberikan obat-obatan. Sedang keuntungan dari therapy cairan adalah absorbsi obat lebih cepat.

2.      Expert II (dr. Sulistyo, residen anak)
         Bayi A mengalami asfiksia sedang. Dari hasil pemeriksaan terakhir sudah ada perbaikan kondisi, akan tetapi bayi A masih harus dirawat di ruang PBRT untuk diobservasi keadaannya, karena bayi sewaktu-waktu dapat berubah. Adapun perawatannya setelah bayi tidak sesak nafas tidak perlu diberikan head box oksigen cukup diberikan nasal 28%. Selain itu perlu menjaga kehangatan bayi masih dalam kondisi adaptasi sehingga pusat termoregulasi belum berkembang sepenuhnya. Yang terpenting perawatan bayi baru lahir adalah kepekaan perawat terhadap tangisan bayi, karena tangisan bayi dapat disebabkan oleh bermacam-macam. Untuk pemberian ASI sudah bisa diberikan karena reflek menghisap sudah ada, tetapi harus memperhatikan kondisi pasien juga, setiap mau memasukkan sonde harus dicek residu terlebih dahulu, sehingga cairan yang masuk sesuai dengan toleransi pencernaan. Untuk pemberian cairan pada hqri ke 90 ml per kg BB per 24 jam, ini sudah termasuk sonde dan infuse. Kalau hari pertama nutrisi enteral tunda dulu. Pemberian cairan lewat vena ini kerugiannya terjadi flebitis. Adapun jenis cairan yang digunakan untuk neonatus  berdasarkan protap yang ada adalah D10 %, oleh karena cairan ini masuk jenis isotonik dan kalorinya besar, sehingga mampu memenuhi kebutuhan neonatus.

3.      Expert III (dr. Wisnu, residen anak)
         Pemeriksaan yang dilakukan pada anak asfiksia adalah analisa gas darah untuk mengetahui konsentrasi oksigen dalam darah dan sejauhmana kebutuhan oksigen diperlukan. Dilakukan pemeriksaan darah rutin dan jika anak diare dilakukan pemerikasaan feses dan urin. Apabila terjadi asidosis perlu dilakukan koreksi untuk menjaga agar sirkualsi darah tetap baik, memberikan lingkungan yang baik sangat diperlukan, menjaga saluran nafas tetap bebas, serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 lancar, dengan memberikan bantuan pernafasan secara aktif apabila bayi menunjukkan pernafasan yang lemah. Program cairan yang diberikan adalah dekstrose 10% oleh karena cairan ini banyak mengandung kalori sehingga sangat dibutuhkan oleh bayi. Sedangkan program tetesan yang diberikan adalah mikro drip (1 cc = 60 tetes). Disamping itu penetalaksanaan yang tidak kalah penting yaitu pencegahan terjadinya infeksi oleh karena bayi masih sangat rentan / daya imunnya masih rendah, untuk itu tindakan invasif sangat diminimalkan,                   misalkan dalam pengambilan darah tidak perlu mengambil dari vena yang lain cukup mengambil dari vena umbilikalis yang telah dipasang infuse. Disamping hal tersebut di atas setelah bayi bisa menetek perlu diberikan pengawasan yang ketat baik kepada bayi maupun ibu jangan sampai terjadi aspirasi. Hal ini juga perlu disampaikan apabila pasien sudah diijinkan pulang sehingga setelah di rumah ibu dapat merawat bayi dengan baik.

C.     Permasalahan
1.      Apakah tujuan dan kapan waktu pemberian cairan
2.      Apakah peran perawat terhadap terapi cairan?
3.      Bagaimana tehnik memfiksasi/ mempertahankan kepatenan IV kateter pada bayi lahir dengan asfiksia?
4.      Bagaimana cara memberikan cairan lewat NGT?
5.      Berapa jumlah kebutuhan cairan untuk bayi baru lahir dengan asfiksia?


BAB IV
PEMBAHASAN


A.          Tujuan dan waktu pemberian cairan
          PT Otsuka Indonesia (2003) menyebutkan bahwa tujuan pemberian therapy cairan yaitu mempertahankan keseimbangan cairan, memberikan obat- obatan dan memberikan nutrisi. Pada bayi ny A oleh karena terjadi asfiksia, hari pertama reflek menelan masih negative sehingga ditunda untuk diet enteral. Selain itu ditakutkan kerja pernafasan bayi A meningkat. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan cairan bayi A diberikan infuse D10 %. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan, dan untuk memasukkan obat, oleh karena pasien mendapat obat Amoxicilin 2x 125 mg dan vit K 1x1mg intravena.
          Hanya saja pemberian cairan D 10% diberikan setelah bayi dipuasakan selama 24 jam. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pemberian cairan seharusnya diberikan sesegera mungkin setelah gastrointestinal bayi berfungsi dengan baik. Penundaan pemberian cairan tersebut memberikan dampak negative pada bayi berupa asidosis metabolik. Masalah lain yang ditemukan adalah pemantauan fungsi pencernaan bayi yang tidak dilakukan secara kontinu sehingga menjadikan penundaan diit enteral berlangsung lebih lama. Kondisi demikian memungkinkan kurang adekuatnya kebutuhan cairan / diit enteral bayi. Oleh sebab itu penulis mengadakan diskusi kepada expert dalam hal ini residen anak, apakh keuntungan yang diperoleh sebanding dengan kerugiannya apabila anak dipuasakan, sementara kita perhatikan bersama bahwa kenyataannya pasien jatuh dalam kondisi asidosis, walupun sudah terkompensasi. Hal ini perlu dihindarkan demi keselamatan pasien. Dokter mengatakan betul sekali apa yang di utarakan, namun kenyataanya kita sebagai dokter, masih sangat sulit untuk mendapatkan kemitraan dengan keperawatan, karena sebagian besar perawat disini pengetahuan tentang cairan sangat kurang.

B.          Peran perawat dalam dalam pemberian terapi cairan
         Salah satu peran perawat yang dibutuhkan dalam pengelolaan bayi dengan asfiksia adalah peran sebagai pelaksana asuhan akeperawatan secara optimal (health providers). Peran ini memungkinkan perawat melakukan kegiatan pengkajian dan perencanaan secara matang mengenai masalah dan hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien asfiksia, misalnya tentang kebutuhan cairan yang tepat dan adekuat untuk bayi yang mengalami gangguan berupa asfiksia.
         Namun kenyataannya perawat tidak memahami secara substansial tentang jumlah cairan yang dibutuhkan oleh bayi asfiksia. Kebanyakan perawat beranggapan bahwa masalah kebutuhan cairan adalah tanggungjawab sepenuhnya oleh pihak medis / dokter, dan mereka beranggapan bahwa perawat hanya bertanggungjawab dalam cara pemberian cairan. Kondisi ini menyebabkan perawat tidak segera mengetahui bila terjadi kekurangan cairan pada bayi atau kondisi lain yang berhubungan dengan masalah kebutuhan cairan, yang diperparah dengan adanya ketidakmampuan perawat dalam membaca hasil laboratorium yang terkait dengan analisis gas darah. Akibatnya perawat tidak mengetahui kalau bayi yang sedang dikelolanya mengalami asidosis metabolik terkompensasi penuh. 

C.         Tehnik memfiksasi/ mempertahankan kepatenan IV kateterpada bayi baru lahir dengan asfiksia
         Berbagai macam cara memfiksasi/ mempertahankan IV kateter diantaranya: metode Chevron, metode U, metode H. Ini semua dilakukan untuk memudahkan dan mengefektifkan dalam perawatan IV kateter. Perawatan IV kateter dilakukan setiap hari sekali yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yaitu infeksi/ phlebitis. Namun tehnik tersebut hanya dilakukan untuk pemasangan infuse dibagian distal. Pada an A infuse dipasang di umbilikel sehingga tehnik dalam memfiksasinyapun berbeda dengan cara diaatas, sampai laporan ini dibuat penulis belum mendapatkan sumber tentang cara fiksasi IV kateter yang terpasang di umbilikel. Sehingga penulis lebih mengacu kepada prosedur tetap yang ada di ruangan, yaitu setiap hari IV kateter pada umbilikel di balut dengan kasa betadi dengan tehnik steril, serta cara memasang plester melingkar pada daerah umbilikel kemudian di tempelkan pada abdomen. (plester dipotong 10-12 cm, lalu bagian tengah plester dililitkan pada IV kateter yang telah terbungkus kasa betadin, sedangkan ujung- ujungnya dilekatkan pada kanan kiri abdomena). Namun kenyataan pada pengamatan sekitar satu minggu meskipun IV dipasang pada vena besar/ umbilikel jarang terjadi infeksi oleh karena perawatan setiap hari dilakukan, dan pencegahan infeksi cukup baik, terbukti tersedianya wastavel alat cuci tangan alternative disetiap ruangan di PBRT.

D.         Pemberian cairan dengan NGT
                  Pemberian cairan dengan NGT ini ada dua tehnik yaitu : yang pertama NGT dipasang tidak menetap/ setelah cairan sonde masuk kemudian NGT lalu dicabut ini dilakukan apabila tidak diperlukan terus menerus, tetapi apabila dibutuhkan cairan susu/ sonde yang terus menerus NGT dipasang menetap namun harus diganti setelah 5 hari, hal ini untuk mencegah infeksi dan perubahan posisi NGT, hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh expert 1 dari keperawatan. Prinsip pemberian susu/ cairan lewat NGT adalah , posisi kepala lebih tinggi dan mencegah adanya udara masuk saluran pencernaan, oleh karena hal ini dapat mengakibatkan distensi pada abdomen dan akan menganggu fungsi gastro intestinal. Sehingga setelah diberikan sonde perlu dilakukan sendawa untuk mencegah adanya udara masuk ke saluran intestinal, walupun pada saat memberikan sonde sudah diminimalkan adanya udara yang masuk. Pada studi kasus apabila sonde diberikan oleh perawat ruangan setelah memberikan sonde tidak dilakukan sendawa, Tetapi penulis memberikan contoh dengan cara setelah memberikan sonde dilakukan sendawa. Namun hal ini sepertinya tidak ada yang merespon dari perawat ruangan, Sehingga penulis mengadakn diskusi kepada salah satu perawat ruangan tentang perlunya dilakukan sendawa setelah memberikan sonde dan perawat mengatakan bahwa hal ini tidak diketahui oleh perawat ruangan. Meskipun pasien mendapat sonde, namun oleh karena reflek menelan pada hari kedua mulai ada, maka sebelum diberikan sonde ditetekkan dulu keibunya, kemudian kalu kurang baru diberi sonde.

E.          Jumlah cairan yang diberikan pada bayi asfiksia
          Jumlah pemberian cairan pada bayi dengan asfiksia didasarkan pada BB yaitu BB antara 1500 – 2500 gram pada hari pertama – hari kedua diberikan cairan sebanyak 60 – 80 cc per Kg BB per 24 jam. Pada hari ketiga – hari ke tujuh diberikan cairan sebanyak 100 -150 cc per Kg BB per 24 jam.
          Pada kenyataannya pemberian cairan didasarkan atas aspek kemudahan yaitu pada hari pertama diberikan cairan sebanyak 192 cc / 24 jam yang seharusnya berdasarkan formulasi cairan yang diberikan adalah sebesar 200 cc.  Aspek kemudahan yang dimaksudkan adalah 192 cc habis dibagi 24 jam yaitu sebesar 8 tetes / menit atau 8 cc / jam. Dengan perhitungan ini menyebabkan  cairan yang diberikan tidak memenuhi jumlah cairan sesuai dengan penghitungan yang berlaku, sehingga bayi masih kekurangan cairan sebanyak 8 cc dalam 24 jam. Jumlah cairan ini sangat berarti bagi bayi terutama pada hari pertama kehidupannya. Dampak tidak adekuatnya pemberian cairan tersebut memungkinkan terjadinya gangguan perfusi yang mana perfusi ini akan mempengaruhi oksigenasi, termasuk oksigenasi ke jaringan ginjal, akibatnya menyebabkan asidosis metabolik, namun  By A masih bisa mengkompensasi hal itu sehingga kompensasi dari ginjal adalah tidak mengeluarkan cairan secara optimal sehingga menyebabkan retensi HC03. Yang mana keadaan ini menunjukkan asidosis metabolic terkompensasi penuh, sehingga pasien tidak perlu diberi tindakan a



BAB V
PENUTUP


A.         Kesimpulan
1.      Asfiksia adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran O2 dan Co2 yang dapat disebabkan oleh faktor ibu, janin, plasenta, dan faktor persalinan.
2.      Prinsip penatalaksanaan pada pasien asfiksia adalah: pengawasan suhu, Pembersihan jalan nafas dan rangsangan untuk menimbulkan pernafasan, serta pemberian cairan yang adekuat.
3.      Tujuan pemberian cairan pada bayi asfiksia adalah untuk  memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi.
4.      Permasalahan yang dijumpai pada saat pengelolaan bayi dengan asfiksia adalah pada tujuan pemberian cairan, jumlah cairan yang harus diberikan, dan peran perawat dalam pengelolaan bayi dengan asfiksia.
5.      Tujuan pemberian cairan adalah untuk pemenuhan cairan dan nutrisi bayi, namun waktu pemberiannya adalah setelah bayi dipuasakan selama 24 jam. Jumlah cairan yang diberikan tidak sesuai dengan teori karena terjadi pengurangan sebesar 8cc dalam 24 jam. Peran perawat lebih banyak pada cara pemberian cairan bukan pada berapa cairan yang dibutuhkan bayi.

B.         Saran
1.      Seharusnya cairan yang diberikan pada bayi asfiksia tidak ditunda hingga 24 jam, namun perlu diberikan sesegera mungkin terutama setelah diketahui system gastrointestinal berfungsi dengan baik.
2.      Seharusnya kebutuhan cairan pada bayi tidak didasarkan pada kemudahan membaginya untuk keperluan selama 24 jam, namun lebih pada berapa cc yang seharusnya bayi (dengan asfiksia) butuhkan. Hal ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada formula yang telah ada.
3.      Perlu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat mengenai pemberian cairan bagi bayi asfiksia sehingga keputusan yang diambil tidak didasarkan pada bagaimana cara cairan diberikan, namun juga harus diketahui mengenai berapa banyak kebutuhan cairan bagi bayi asfiksia.








































DAFTAR PUSTAKA


1.      A.H Markum, (2002). Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.

2.      Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1997). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Bandung.

3.      Berhman, Kliegman & Arvin, (1996), Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Alih Bahasa Samik Wahab. Jilid I, Jakarta: EGC.

4.  http: // www.pediatrik.com/kanal.Php?pg=karyailmiah&id=03.

5.  http : //www.Suaramerdeka.Com/harian/0308/11/ragam5.htm.

6.   Mochtar, Rustam, (1998), Sinopsis Obstetri: Obstetri Patologi, Edisi 2, Jakarta: EGC.

7.      Persis Mary Halminton, (1999), Dasar- dasar Keperawatan Maternitas Edisi 2, Jakarta: EGC

8.  Staf Pengajar IKA FKUI, (1995), Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3, Jakarta: IKA FKUI.

9.      Purnawan, J dkk, (1998) Kapita Selekta Kedokteran, Edisi2, Jakarta: Media Aeusculapius FKUI.

10.  PT Otsuka Indonesia. (2003). Pemberian Cairan Infus. Edisi revisi VIII.

11.  Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Ilmu Kebidanan, Jakarta: JNPKKR-POGI

12.  Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR- POGI

13.  Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1998). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-2. Bandung

No comments:

Post a Comment