Thursday, January 15, 2015

ESAY KONTRAK BELAJAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CIDERA KEPALA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usis produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Disamping penanganannya di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke Rumah Sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Cedera kepala paling sering dan penykit neurologik, merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawat di Rumah Sakit.
Pada kelompok ini antara 50.000 - 90.000 orang setiap tahun mengalami penurunan intektual atau tingkah laku yang menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan normal. Dua pertiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak, karena adanya kadar alcohol dalam darah yang terdeksi lebih dari 50%pasien cedera kepala.
Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap  cedera bagian tubuh lain. Adanya syok hipovolemia pada pasien cedera kepala biasanya terjadi akibat cedera tubuh yang lain. 

B.     Tujuan penulisan
1.      Tujuan umum
Setelah membaca makalah ini mahasiswa diharapkan mampu untuk  menjelaskan dan mengaplikasikan asuhan keperawatan klien dengan cedera kepala di Rumah Sakit.

2.      Tujuan khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang :
a.       Definisi cedeara kepala
b.      Etiologi cedera kepala
c.       Klasifikasi cedera kepala
d.      Manifestasi cedera kepala
e.       Patofisiologi cedera kepala
f.       Penatalaksanaan cedera kepala
g.      Defenisi penurunan kesadaran
h.      Tingkat kesadaran
i.        Cara penilaian GCS (glassgow coma scale)
j.        Askep cedera kepala



BAB II
TINJAUAN TEORI

1.      Definisi
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus melalui duramater) atau tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Kerusakan terjadi pada kedua jenis cedera apabila pembuluh darah, sel glia, dan neuronrusak atau hancur. Kerusakan otak dapat terjadi setelah cedera berat apabila perdarahan dan inflamasi menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, (Suzzane C. & Brenda G, 2002).

2.      Etiologi
Penyebab cedera kepala diantaranya adalah :
a.       Kecelakaan mobil
b.      Perkelahian
c.       Jatuh
d.      Cedera olahraga
e.       Cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh luka karena peluru atau pisau,
 (Elizabeth J. Corwin, 2009).

3.      Patofisiologi
Tekanan intrakranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah intrakranial, dan cairan cerebrospinal (CSS) didalam tengkorak pada satu bagian satuan waktu. Keadaan normal dari tekanan intrakranial bergantung pada posisi pasien dan berkisar atau kurang sama dengan 15 mmHg.
Ruang kranial yang kaku berisi jaringan otak (1400 g), darah (75 ml), dan cairan cerebrospinal (75 ml). Volume dan tekanan pada ketiga komponen ini saling berhubungan dengan keadaan keseimbangan. Hipotesa Monro-Kellie menyatakan bahwa karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi didalam tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini menyebabkan perubahan pada volume yang lain, dengan mengubah posisi atau menggeser CSS, meningkatkan absorbsi CSS, atau menurunkan volume darah cerebral. Tanpa adanya perubahan, tekanan intrakranial akan naik.
Dalam keadaan normal, perubahan ringan pada volume darah dan volume CSS yang konstan ketika ada perubahan tekanan intratorakal (seperti batuk, bersin, tegang), perubahan bentuk dan tekanan darah, fluktuasi kadar gas arteri. Keadaan patologis seperti cedera kepala, stroke, lesi karena radang, tumor otak, atau bedah intrakranial mengubah hubungan antara volume intrakranial dan tekanan.
Aliran darah cerebral. Peningkatan TIK secara signifikan menurunkan aliran darah dan menyebabkan iskemia. Bila terjadi iskemia komplet dan lebih dari 3 sampai 5 menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Pada keadaan iskemia cerebral pusat vasomotor terstimulasi dan tekanan sistemik meningkat untuk mempertahnkan aliran darah. Keadaan ini selalu disertai dengan lambatnya denyutan pembuluh darah dan pernapasan yang tidak teratur. Perubahan dalam tekanan darah , frekuensi nadi dan pernapasan adalah adalah gejala klini yang penting yang memperlihatkan peningkatan tekanan intra kranial (TIK).
Konsentrasi karbondioksida dalam darah dan dalam jaringan otak juga berperan dalam pengaturan aliran darah cerebral. Tingginya tekanan karbondioksida parsial menyebabkan dilatasi pembuluh darah cerebral, yang berperanan penting dalam peningkatan aliran darah cerbral dan peningkatan TIK, sebaliknya penurunan PaCO2 menyebabkan vasokonstriksi. Menurunnya darah vena yang keluar dapat meningkatkan volume darah serebral yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Edema cerebral. Edema atau pembengkakan serebral terjadi bila air yang ada peningkatan didalam sisitem saraf pusat. Adanya tumor otak dihubungkan dengan produksi yang berlebihan dari hormon antidiuretik, yang hasilnya terjadi retensi urine. Bahkan adanya tumor kecil dapat menimbulkan peningkatan TIK yang besar.
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai efek sekunder. Walaupun peningkatan TIK sering dihubungkan dengan cedera kepala, namun tekanan yang tinggi dapat terlihat sebagai pengaruh sekunder dari kondisi lain : tumor otak, perdarahan subarakhnoid, keracunan dan ensefalopati virus. Sehingga peningkatan TIK adalah penjumlahan dari faktor fisiologis. Peningkatan TIK dari penyebab apapun mempengaruhi perfusi cerebral dan menimbulkan distorsi dan bergesernya otak.
Respon serebral terhadap peningkatan TIK. Ada dua keadaan penyesuaian diri terhadap peningkatan TIK yaitu kompensasi dan dekompensasi.
Kompensasi. Selama fase kompensasi, otak dan komponennya dapat mengubah volumenya untuk memungkinkan pengembangan volume jaringan otak. TIK selama fase ini, kurang dari tekanan arteri, sehingga dapat mempertahankan tekanan perfusi cerebral. Pasien dalam kondisi seperti ini tidak menunjukkan adanya perubahan fungsi neurologis.
Tekanan perfusi cerbral (TPS) dihitung dengan mengurangi nilai TIK dari tekanan arteri rata-rata (TAR). Nilai normal TPS adalah 60 sampai 150 mmHg. Mekanisme autoregulator dari otak, mengalami kerusakan akan menyebabkan TPS lebih dari 150 mmHg atau kurang dari 60 mmHg. Pasien dengan TPS kurang dari 50 mmHg memperlihatkan disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih kembali. Hal ini terjadi disebabkan oleh penurunan perfusi cerebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan mengakibatkan hipoksia cerebral.
Dekompensasi. Keadaan fase ini dimulai dengan tidak efektifnya kemampuan otak untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dalam keadaan volume yang sudah terbatas. Pada fase ini menunjukkan perubahan status mental dan tanda-tanda vital bradikardi, tekanan denyut nadi melebar, dan perubahan pernapasan. Pada titik ini, terjadi herniasi batang otak dan sumbatan aliran darah serebral dapat terjadi bila intervensi pengobatan tidak dilakukan. Herniasi terjadi bila bagian jaringan otak bergeser dari daerah tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. Herniasi jaringan berupa herniasi pergeseran sesuatu yang mendesak tekanan dalam daerah otak dan mengganggu suplai darah cerebral menyebabkan hipoksia cerebral yang menunjukkan “kematian otak”, (Suzzane C. & Brenda G, 2002).

4.      Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal bergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur.
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan karena alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga ditulang temporal, juga sering menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah konjungtiva. Syatu area ekimosis, atau memar, mungkin terlihat di atas mastoid (tanda battle). Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga (otorea cairan cerebrospinal) dan hidung (rinorea serebrospinal). Keluarnya cairan cerebrospinal merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme masuk kedalam isi kranial melalui hidung, telinga atau sinus melalui robekan pada dura.
Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah, (Suzzane C. & Brenda G, 2210:2002).
Pada saat TIK meningkat pada titik dimana kemampuan otak untuk menyesuaikan diri telah mencapai batasnya fungsi saraf yang terganggu dimanifestasi dengan perubahan tingkat kesadarn dan respirasi serta respons vasomotor abnormal.
Tingkat responsivitas/kesadaran adalah indikator paling penting terhadap kondisi pasien. Tanda paling dini dari peningkatan TIK adalah letargi, lambatnya bicara dan lambatnya respons verbal bahkan hal ini menjadi indikator awal.
Adanya perubahan tiba-tiba pada kondisi pasien seperti gelisah (tanpa penyebab yang nyata), terlihat konfusi atau menunjukkan peningkatan mengantuk. Tanda-tanda ini dapat diakibatkan dari kompresi otak karena pembengkakan akibat akibat hemoragi atau edema atau meluaskannya les intrakranial (hematoma atau tumor), atau kombinasi keduanya.
Pada tekanan yang tinggi, pasien bereaksi hanya terhadap suara yang keras dan stimulus nyeri. Pada keadaan ini terdapat gangguan yang serius pada sirkulasi otak yang memungkinkan pada suatu tempat ddan membutuhkan intervensi pembedahan segera, (Suzzane C. & Brenda G, 2214-2215:2002).

5.      Penatalaksanaan
Individu dengan cedera kepala diasumsikan mengalami cedera medulla servikal sampai terbukti demikian. Dari tempat tempat kecelakaan, pasien dipindahkan dengan papan di mana kepala dan leher dipertahankan pada kepala, dan kolar servikal dipasang dan dipertahankan sampai sinar – X medulla servikal didapatkan dan diketahui tidak ada cedera medulla spinallis servikal.
Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan homeostasis otak dan mencegah kerusakan otak sekunder. Tindakan ini mencakup stabilisasi kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk mempertahankan pefusi serebral adekuat. Hemoragi terkontrol, hipovolemia diperbaiki, dan nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan.
Tindakan terhadap peningkatann peningkatan TIK. Pada saat otak yang rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK dan memerlukan tindakan segera. TIK dipantau dengan ketat dan bila meningkat, keadaan ini diatasi dengan mempertahankan oksigenasi adekuat, pemberian manitol, yang mengurangi edema serebral, dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi, penggunaan steroid, peningkatan kepala tempat tidur, dan kemungkinan intervensi bedah neuro. Pembedahan diperlukan untuk evakuasi bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi kulit kepala berat. Alat utnuk memantau TIK dapat dipasang selam pembedahan atau dengan aseptik ditempat tidur. Pasien dirawat diunit perawatan intensif dimana ada perawatan ahli keperawatan dan medis.
Tindakan pendukung lain. Tindakan juga mencakup dukungan ventilasi, pencegahan kejang, dan pemeliharaan cairan dan elektrolit dan keseimbangan nutrisi. Pasien cedera kepala berat yang koma diintubasi dan diventilasi mekanis untuk mengontrol dan melindungi jalan nafas. Heperventilasi terkontrol juga mencakup hipokapnia, yang mencegah vasodilatasi, menurunkan aliran darah serebral, menurunkan volume darah serebral, dan kemudian menurunkan TIK.
Karena kejang umum terjadi setelah ceedera kepala dan dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia, terapi antikonvulsan dapat dimulai.
Bila pasien sangat teragitasi, klorpomazin dapat diberikan untuk menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran. Selang nasogastrik dapat dipasang, bila motilitas lambung menurun dan peristaltik terbalik dikaitkan dengan cedera kepala dengan membuat regurgitasi umum pada beberapa jam pertama, (Suzzane C. & Brenda G,2002).
      Gegar otak ringan dan sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah melalui pembedahan dan evakuasi hematoma. Mungkin diperlukan debridement melalui pembedahan (penngeluaran benda asing dan sel yang mati), terutama pada cedera kepala terbuka. Dekompresi melalui pengeboran lubang didalam otak yang disebut borr hole, mungkin diperlukan.Mungkin dibutuhkan ventilasi mekanis. Antibiotik diperlukan untuk cedera kepala terbuka guna mencegah infeksi. Metode untuk menurunkan tekanan intrakranial dapat mencakup pemberian diuretik dan obat anti inflamasi, (Ellizabeth J. Corwin, 2009).

6.      Evaluasi Diagnostik
a.       Pemeriksaan neurologi dan fisik awal memberin data dasar yang akan digunakan untuk perbandinagan pemeriksaan berikutnya. Pemeriksaan CT adalah alat diagnostik pencitraan primer dan ini bermanfaat dalam evaluasi terhadap jaringan lunak, (Suzzane C. & Brenda G,2002).
b.      MRI adalah perangkat yang lebih sensitif dan akurat, dapat mendiagnosi cedera akson difus, namun mahal dan kurang dapat diakses disebagian besar fasilitas, (Ellizabeth J. Corwin, 2009).
7.      Komplikasi
a.       Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsia pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami sedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kelapa hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.

b.      Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagia lobus frontalis di sebelahnya.
c.       Apraksia
Apraksia adalah ketidak mampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis ataun lobus frontalis.
d.      Agnosia
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum(misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parientalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
e.       Amnesia
Amnesia adalah hilanya sebagian atau seluruhnya kemampuan untuk mengikat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa  yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesia retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan ( amnesia pascatrauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung pada beratnya cidera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.



BAB III
RESUME

A.    STUDI KASUS
An. V umur  13 tahun dengan post craniotomi indikasi EDH hasil pengkajian klen post kecelakaan lalu lintas langsung di rawat di Ruang HCU Bedah klien sudah sadar namun belum di buka jahitannya.
Klien masih diberikan terapi krena masih terasa nyeri pada bagian kepala post craniotomi.

B.     DISKUSI DENGAN EKSPERT
Menurut ekspert 1 (Residen bedah) dan ekspert 2 (Perawat bedah),  Epidural Hematom(EDH) adalah hematom yang terletak antara durameter dan tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Craniotomy adalah suatu pembedahan untuk menghilangkan sebagian dari tulang tengkorak untuk tujuan mengoperasi jaringan, biasanya otak. Tulang ditutup kembali di akhir prosedur.

C.     PERMASALAHAN
1.      Bagaimana pengaruh craniotomi pada EDH?
BAB IV
PEMBAHASAN

A.    PENGARUH CRANIOTOMI PADA EDH
Epidural hematoma atau perdarahan ekstradura diartikan sebagai adannya penumpukandarah diantara dura dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak. Lebih seringterjadi pada lobus temporal dan parietal
Epidural Hematom(EDH) adalah hematom yang terletak antara durameter dan tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Craniotomy adalah suatu pembedahan untuk menghilangkan sebagian dari tulang tengkorak untuk tujuan mengoperasi jaringan, biasanya otak. Tulang ditutup kembali di akhir prosedur.


BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus. (Satya Negara, 1998 : 59)
Cedera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang terbata pada kompartemen yang kaku. (Price & Wilson, 1995)
Penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1.      Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi), misal terkena lemparan benda tumpul.
2.      Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, yang mengakibatkan perdarahan, hipotensi, TIK meningkat.

B.     Saran
Take care you body as gond as you can do, especially your head. Because it’s the most important part from our body”.


DAFTAR PUSTAKA

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta


Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002,  NANDA

Doenges. Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
         Perencanaan dan Pendokumentasikan perawatan Pesien. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol 3. Jakarta : EGC

Price, Sylvia Anderson, 2005 patofiologi. Jakarta : penerbit buku kedokteran.ECG

No comments:

Post a Comment